Novriyanti, Universitas Lampung; Adella Putri Apriliani, Universitas Lampung; Ahmad Rizaldi, IPB University; Christine Wulandari, Universitas Lampung; Fadela Yunika Sari, Universitas Lampung, dan Pitojo Budiono, Universitas Lampung
“Saya pikir saya harus hadir (dalam pertemuan perdana penelitian tata kelola lanskap hutan) karena ini berhubungan dengan masyarakat saya yang selama ini bergantung pada hutan Gunung Betung.”
Begitu pernyataan NN, salah seorang peserta yang hadir sebagai pejabat pemerintah desa dalam sesi diskusi kelompok terpumpun (FGD) penelitian kami. NN adalah kepala desa dari salah satu desa yang berbatasan dengan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR), Lampung, yang menjadi lokasi penelitian kami.
Tahura WAR merupakan salah satu kawasan konservasi seluas 22,2 ribu hektare yang berbatasan dengan 36 desa dan 7 kelurahan. Selain sebagai kawasan konsevasi, Tahura WAR juga berperan sebagai “pancang bumi” yang menyangga kelangsungan area di bawahnya. Bahkan kawasan ini juga berperan sebagai penyedia utama air bersih bagi PDAM Way Rilau, sumber air bagi masyarakat Kota Bandar Lampung. Karena perannya yang krusial, Tahura WAR berstatus kawasan hutan konservasi yang menjadi pelindung sistem penyangga kehidupan, pelestarian keberagaman hayati, serta pemanfaatan secara berkelanjutan.
Sayangnya, berdasarkan informasi yang kami peroleh dari pengelola (belum dipublikasi), sekitar 70% area tahura telah menjadi kebun yang ditanami dengan berbagai komoditas pertanian holtikultura oleh masyarakat setempat. Hal ini berdampak pada ketidaksesuaian fungsi kawasan dan meningkatnya potensi gangguan atau bencana alam.
Otoritas desa dan kelurahan sekitar semestinya berperan langsung dalam menyokong upaya pelestarian tahura dengan memantau aktivitas warganya di kawasan konservasi tersebut. Namun, penelitian kami (dalam proses penulisan) justru mendapati bahwa tak semuanya pihak berperan aktif. Tak semuanya memiliki kepedulian yang sama terhadap pengelolaan hutan di Tahura WAR.
Kepala desa lebih aktif
Kepala desa (kades)—sepanjang pengalaman kami—lebih aktif untuk membahas kebijakan pengelolaan lahan hutan. Buktinya, mereka selalu hadir dalam setiap undangan diskusi yang kami adakan terkait tahura.
Pada 2023, dari lima kali pertemuan bersama masyarakat dan perangkat desa serta kelurahan, hanya kades selalu hadir. Paling tidak, sekitar 70% di antaranya mengikuti kegiatan. Mereka pun aktif menyumbangkan saran, menyediakan data, dan informasi.
Kepala Tahura WAR, Eny Puspasari, mengonfirmasi temuan kami. Kepala-kepala desa, menurut dia, juga aktif berkomunikasi bahkan meminta pertemuan dengan pengelola ketika memiliki gagasan ataupun ada masalah terkait tahura.
Para kades juga mengetahui bahwa dahulu, sekitar 90% warganya menggarap hutan negara untuk berkebun tanpa izin. Masyarakat pun menyadari bahwa lahan yang mereka garap adalah hutan negara, bukan lahan pertanian.
Sejauh pengamatan kami, mereka beritikad baik untuk memperbaiki situasi tersebut. Para kepala desa dapat dengan mudah ditemui—termasuk saat hari libur—untuk berdiskusi untuk membahas percepatan pengajuan legalitas akses masyarakat di Tahura WAR.
Kehadiran lurah seakan hanya formalitas
Di lain pihak, hampir seluruh lurah di sekitar tahura hanya hadir saat diundang dalam pertemuan. Hanya satu lurah yang paling sering hadir, yaitu lurah di Kelurahan Sumber Agung. Sebab, wilayah mereka berbatasan langsung tahura.
Lurah melakukan pekerjaannya sekadar menjalankan tugas dan fungsi tanpa inisiatif lebih untuk berkontribusi terhadap pelestarian tahura dan nasib warga. Bahkan di banyak kesempatan, lurah justru mendelegasikan kehadirannya kepada stafnya.
Lurah pun terkesan tak mengatasi situasi maraknya masyarakat yang memanfaatkan hutan tanpa izin untuk berkebun di Tahura. Secara umum, kehadiran mereka dalam undangan diskusi pembahasan legalitas akses masyarakat ke dalam kawasan sangat rendah. Sulit pula bagi pengelola Tahura untuk mengurus berkas administrasi bersama lurah saat hari libur.
Selain itu, sepanjang pengamatan kami, belum ada lurah yang memberikan umpan balik kepada kami secara sukarela, kecuali saat kami meminta secara langsung. Dalam beberapa kasus, mereka hanya menjawab secara normatif seperti “Kami akan mempertimbangkan hal ini” atau “Akan kami sampaikan ke pihak terkait,”.
Ini seakan menunjukkan bahwa mereka tidak memahami situasi yang terjadi. Padahal, pemahaman dan komunikasi otoritas lokal merupakan aspek penting dalam menilai kualitas kepemimpinan lokal. Kepemimpinan lokal yang baik dapat menyokong pengelolaan hutan lestari, terutama di masyarakat dengan institusi adat yang kuat.
Kualitas kepemimpinan yang kurang baik, sebaliknya, dapat menghambat upaya pengelola Tahura WAR melestarikan hutan sekaligus menyelesaikan konflik lahan dengan masyarakat.
Mengapa kepala desa lebih aktif?
Perbedaan keaktifan antara lurah dan kepala desa boleh jadi mencerminkan implikasi praktek demokrasi dan pengelolaan dana di tingkat lokal.
Kepala desa merupakan pemimpin politik yang dipilih secara langsung oleh warga.
Dari sisi dukungan pendanaan, desa memiliki skema Dana Desa yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Desa dapat mengalokasikan dana ini untuk membiayai kegiatan-kegiatan mereka, termasuk perhutanan sosial ataupun kemitraan konservasi yang mendukung pelestarian Tahura WAR.
Singkatnya, pengelolaan Dana Desa bisa lebih fleksibel untuk dialokasikan kepada kegiatan-kegiatan sesuai hasil musyawarah warga desa.
Dua alasan ini membuka peluang transparansi dan akuntabilitas pengelolaan desa, dan juga memicu kualitas kepemimpinan kepala desa.
Sebaliknya, lurah ditunjuk langsung oleh bupati atau wali kota. Lurah berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara), sedangkan kepala desa tidak. Dengan sistem penunjukan dan penempatan lurah semacam itu, lurah dapat dipindahkan kapan saja. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan tahura secara kolaboratif.
Sementara di kelurahan, program-program yang ada hanya mengandalkan anggaran yang bersumber APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Itupun hanya untuk pembiayaan rutin saja seperti pembangunan sarana dan prasarana kelurahan setempat.
Langkah ke depan dan upaya perbaikan
Penelitian di Desa Sayoang, Kabupaten Halmahera Selatan, mengungkap bahwa kualitas kepemimpinan kepala desa akan menentukan peningkatan partisipasi masyarakat dalam melestarikan hutan.
Sementara itu, temuan kami mencatat pemerintah perlu lebih bijak dalam menentukan pemimpinnya, khususnya di wilayah yang dekat dengan kawasan hutan.
Pejabat struktural seperti ASN sangat tergantung pada tugas dan fungsi kelembagaan. Mereka, dalam temuan kami, cenderung kurang fleksibel dalam tata waktu kerja sehingga kurang sesuai dalam upaya pelestarian hutan yang membutuhkan kolaborasi multipihak.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk mengevaluasi kinerja otoritas desa/kelurahan berdasarkan indikator pengelolaan lanskap berkelanjutan. Hal ini akan membantu memastikan bahwa pemimpin yang dipilih mampu memenuhi tuntutan kolaborasi dan pengelolaan sumber daya alam yang efektif.
Pendekatan berkelanjutan dalam pengelolaan Tahura WAR tidak hanya penting untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Masyarakat sekitar pun perlu terus menikmati manfaat ekosistem yang disediakan oleh hutan ini.
Dengan demikian, perlindungan dan pengelolaan hutan konservasi seperti Tahura WAR harus menjadi prioritas dalam kebijakan lingkungan di Lampung maupun Indonesia secara keseluruhan.
Novriyanti, Dosen Kehutanan dengan bidang keahlian Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Lampung; Adella Putri Apriliani, Research associate Environmental Science, Universitas Lampung; Ahmad Rizaldi, Forest Carbon Specialist, IPB University; Christine Wulandari, Profesor , Universitas Lampung; Fadela Yunika Sari, Mahasiswa, Universitas Lampung, dan Pitojo Budiono, Dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Lampung
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.