Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 19 Des 2024, 01:15 WIB

Tarif PPN 12% Makin Memperburuk Situasi

Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi Ekonomi Universitas Airlangga - PPN 12 persen jelas akan memukul daya beli masyarakat miskin yang selama ini sudah tertekan oleh kenaikan harga bahan-bahan pokok.

Foto: antara

JAKARTA - Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar berpendapat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memicu inflasi yang tinggi pada tahun depan. Pasalnya, meski barang pangan tetap dikecualikan dari pengenaan PPN, tarif 12 persen akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat ke bawah.

“Implikasinya, kebijakan ini berisiko memicu inflasi yang tetap tinggi pada tahun depan, sehingga menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah,” ujar Media di Jakarta, Rabu (18/12).

Berdasarkan perhitungan Celios, kenaikan PPN menjadi 12 persen bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.

Kondisi itu akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan.

Di sisi lain, Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menambahkan kebijakan tarif PPN Indonesia masih menganut tarif tunggal, bukan multitarif atau diterapkan secara selektif terhadap barang dan jasa.

Menurutnya, pemberian insentif berupa PPN ditanggung pemerintah (DTP) bersifat rentan dan menimbulkan ketidakpastian karena bisa dicabut kapan saja.

Dampak kenaikan tarif PPN terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga pun disebut negatif. Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di kisaran angka 5 persen. Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen pada 2022, terjadi perlambatan dari 4,9 persen (2022) menjadi 4,8 persen (2023).

Secara penerimaan negara, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga diperkirakan tidak memberikan kontribusi yang signifikan. Sedangkan dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar.

Data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) yang hanya naik 1,1 persen menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah.

"Kenaikan tarif ini hanya akan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujarnya pula.

Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto,mengatakan, rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen jelas akan memukul daya beli masyarakat miskin yang selama ini sudah tertekan oleh kenaikan harga bahan-bahan pokok. 

"Mungkin bagi golongan menengah atas dampaknya tidak terlalu terasa tapi tidak dengan yang di bawah. Kalau diterapkan sekarang momennya tidak tepat, karena banyak masyarakat kita,terutama yang miskin belum pulih sepenuhnya dari krisis akibat pandemi, dan sekarang pun mereka juga merasakan tekanan akibat kenaikan harga bahan-bahan pokok yang belum semuanya stabil,” kata Bagong.

Karena PPN tentu juga akan menaikkan production cost, maka efek dominonya orang miskin akan merasakan tekanan ekstra dari kenaikan ini. 

Sementara di sisi lain, anjloknya daya beli masyarakat karena kenaikan ini otomatis akan menurunkan konsumsi yang akan berdampak pada angka pertumbuhan, padahal sebelumnya pemerintah menetapkan target yang cukup tinggi di tengah ketidakpastian global ini," ujarnya.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya Jakarta, YB. Suhartoko mengatakan, kenaikan PPN terhadap suatu barang pastinya akan meningkatkan harga di tingkat konsumen dan jika kenaikan PPN dilakukan terhadap semua barang, maka akan mendorong terjadinya inflasi. “Jika hubungan penggunaan antar barang semakin erat, inflasi yang ditimbulkan akan semakin besar,”ungkapmya.

Dibebankan ke Konsumen

Hal yang juga patut menjadi perhatian adalah PPN merupakan pajak tidaklangsung, yang berarti pajak bisa digeserkan ke konsumen. Semakin elastis permintaan, semakin sulit pajak digeserkan, sehingga beban PPN akan banyak ditanggung perusahaan, dan tentu saja akan mengurangi potensi volume penjualan laba perusahaan. Ini sering terjadi di barang mewah yang dikonsumsi orang kaya

Namun, untuk barang kebutuhan sehari hari yang cenderung inelastis terhadap harga, PPN lebih mudah digeserkan ke konsumen. "Artinya, masyarakat berpenghasilan menengah ke bawahakan sangat merasakan dampaknya, bahkan berkurang saya belinya.

Di tengah situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, perlu berhati hati dalam penerapan peningkatan PPN, karena dapat mempengaruhi kesejahteraan, baik pada level konsumen maupun produsen dan pada gilirannya terhadap pendapatan nasional.

Suhartoko menegaskan penurunan daya beli kelas menengah itu bisa dilihat dari penurunan impor November 2024, meskipun terjadi surplus tetapi impor turun. Itu mengindikasikan pelemahan permintaan dari dalam negeri, oleh kelas menengah. Kenaikan PPN akan memperburuk kondisi itu.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan rakyat sebagai konsumen akhir akan menanggung beban terbesar dari kebijakan kenaikan PPN.

Dampak kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN akan lebih signifikan bagi rakyat bawah karena proporsi pendapatan mereka yang habis untuk konsumsi jauh lebih besar dibandingkan kelompok kaya.

Pemerintah memang membebaskan beberapa komponen dari kenaikan PPN, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan kesehatan. Namun, ada ketidakkonsistenan dalam penerapan ini. “Barang-barang seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak curah tetap dikenakan PPN 12 persen meskipun pemerintah berjanji untuk menanggung bebannya (DTP - Ditanggung Pemerintah),” katanya.

Mekanisme ini, menurut Achmad, menciptakan potensi kebocoran, inefisiensi, dan ketidaktepatan sasaran.

“Konsumen akhirnya tetap dihadapkan pada kenaikan harga yang tidak dapat dihindari, terutama bagi produk-produk yang memiliki rantai distribusi panjang,” tandas Ahmad. 

Redaktur: M. Selamet Susanto

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.