Tarif PPN 12% Beratkan Pemulihan Daya Beli Masyarakat
Foto: Berbagai sumber - KJ/ONESJAKARTA– Kebijakan pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 5,2 persen akan bertentangan dengan keputusan untuk tetap menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Kenaikan tarif PPN diyakini akan mengganggu pemulihan daya beli masyarakat, apalagi di tengah gelombang pemutusan hubungan karyawan (PHK).
Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, meminta pemerintah meninjau kembali keputusan menaikkan tarif PPN itu.
Meskipun pajak merupakan sumber penerimaan penting bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)kebijakan itu akan berdampak signifikan pada daya beli masyarakat yang saat ini masih dalam tahap pemulihan.
“Kenaikan PPN ini meskipun tidak berlaku untuk bahan pokok, tetap akan memberatkan pemulihan daya beli masyarakat,” ungkap Aloysius.
Pemerintah harus mengalkulasi secara cermat efek berantai dari kenaikan tarif PPN tersebut. “Beras memang tidak dikenakan PPN secara langsung, tetapi biaya distribusinya bisa meningkat karena kendaraan yang mengangkutnya terkena PPN 12 persen, sehingga pada akhirnya, harga beras pun dapat naik,” paparnya.
Dia juga menyoroti perlunya transparansi dalam menyampaikan dampak riil dari kenaikan PPN tersebut. “Apakah kenaikannya benar-benar hanya 1 persen atau sebenarnya lebih besar dari itu? Transparansi ini sangat penting, terutama ketika penggunaan APBN masih menghadapi persoalan dalam hal efisiensi dan efektivitas,” katanya.
Kegagalan dalam mengelola hasil pajak dapat berkontribusi pada bertambahnya utang luar negeri. Hal itu menjadi perhatian mengingat kekhawatiran bahwa pemerintahan baru nantinya mungkin akan kembali meningkatkan utang luar negeri.
Dia juga mengkritisi argumen pemerintah yang menyatakan bahwa kenaikan PPN hingga 12 persen bertujuan untuk mendekati rata-rata negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang sekitar 19 persen.
“Indonesia bukan anggota OECD, dan bahkan beberapa negara anggota OECD memiliki PPN di bawah 10 persen. Kemajuan suatu negara tidak semata-mata diukur dari tingginya PPN,” tegasnya.
Hal yang lebih mendesak adalah bagaimana merumuskan kebijakan yang benar-benar memungkinkan Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dan mendorong menjadi negara maju.
“Kebijakan yang memperkuat peluang pertumbuhan ekonomi jangka panjang harus menjadi prioritas utama,” pungkas Aloysius.
Dihubungi dalam kesempatan yang lain, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhisthira, mengatakan jika kenaikan PPN diteruskan maka akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi, sehingga sulit mencapai target 5 persen. Pertumbuhan bahkan bisa dibawah 4,9 persen karena kontribusi terbesarnya masih dari konsumsi masyarakat.
Kenaikan tarif PPN 12 persen, jelas Bhima, kalau diakumulasi dalam empat tahun terakhir (2022–2025), maka sebenarnya sudah naik 20 persen bukan 2 persen. Dari 10 persen ke 11 persen, kemudian ke 12 persen total kenaikannya 20 persen.
Jadi, perlu dibedakan antara selisih tarif dengan kenaikan tarif 20 persen dalam empat tahun terakhir merupakan kenaikan tarif PPN yang sangat tinggi bahkan dibanding akumulasi kenaikan inflasi tahunan maupun pertumbuhan upah riil pekerja.
Memacu Inflasi
Kenaikan tarif PPN diyakini juga akan memacu inflasi hingga ke level 4,5–5,2 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Apalagi, masyarakat kelas menengah sebelumnya sudah dihantam kenaikan harga pangan, dan sulitnya mencari pekerjaan sehingga jangan ditambah lagi dengan penyesuaian tarif PPN 12 persen.
“Belanja masyarakat dikhawatirkan bisa turun, begitu pula dengan penjualan produk sekunder, seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik bisa melambat. Sasaran PPN ini kelas menengah dan diperkirakan 35 persen konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari konsumsi kelas menengah,” kata Bhima.
Imbas lainnya dari kebijakan tersebut tentu ke pelaku usaha karena penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN berimbas ke omzet dan pada akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 2 Dorong Sistem Pembayaran Inklusif, BI Hadirkan Tiga Layanan Baru BI-Fast mulai 21 Desember 2024
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Sabtu, Harga Pangan Mayoritas Turun, Daging Sapi Rp131.990 per Kg
Berita Terkini
- Indosat Berbagi Kasih Bagikan Hadiah Natal untuk Anak-anak NTT
- Gawat! Korea Utara Disebut akan Mengirim Lebih Banyak Pasukan ke Rusia
- Suami Sandra Dewi, Harvey Moeis, Divonis 6,5 Tahun Penjara terkait Korupsi Tata Niaga Timah
- DKI bangun embung dan pusat kendali untuk tangani banjir di Jaksel
- Legislator: Pembangunan NCICD di Muara Angke baru 100 meter