Rabu, 06 Nov 2024, 00:35 WIB

Target Pencapaian SDGs Global Bakal Mundur 32 Tahun

Sejumlah siswa menunjukkan makanan gratis saat simulasi program makan siang gratis di SMP Negeri 2 Curug, Kabupaten Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu. Target pencapaian SDGs secara global dipastikan tidak akan tercapai.

Foto: ANTARA/Alif Bintang

JAKARTA – Target pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) secara global dipastikan tidak akan tercapai sesuai dengan yang ditetapkan sebelumnya yaitu pada 2030. Hal itu karena dari sekian banyak target indikator yang ditetapkan secara global, saat ini baru terealisasi 17 persen.

Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi Sekretariat SDG's Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas/Kementerian PPN), Setyo Budiantoro, dalam diskusi bertajuk Unlocking Sustainable Growth: Green Financing for Palm Oil Companies in Indonesia, di Gedung Rektorat Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa (5/11), mengatakan dengan pencapaian yang sangat minim itu maka SDGs bakal molor.

“Dengan perkembangan seperti saat ini maka SDGs secara global akan mundur selama 32 tahun,” kata Setyo.

Meskipun secara global sangat lamban, namun di Indonesia sudah mencapai 62,5 persen atau sebanyak 139 indikator dari target atau lebih baik dari pencapaian di dunia.

“Di level dunia, SDG's ini suram, sementara Indonesia merupakan highest achievement di antara upper leader middle country,” kata Setyo.

Lebih lanjut, Setyo mengatakan dari data United Nastions (UN) Sustainable Development Solutions Network (SDSN), komitmen SDG's Indonesia paling tinggi di Asia dan ketujuh di dunia. “Tujuh negara di atas kita rata-rata negara Skandinavia, sehingga Indonesia sering jadi referensi negara-negara lain,” jelas Setyo.

Kendati demikian, untuk mencapai target SDG's pada 2030, masih menghadapi tantangan pendanaan. Sebelum pandemi Covid-19, kebutuhan pendanaan SDG's Indonesia periode 2020–2030 mencapai 67.000 triliun rupiah atau ada gap pembiayaan (gap financing) sebesar 14.000 triliun rupiah.

“Namun pascapandemi, kebutuhan pendanaan SDG's Indonesia hingga 2030 naik mencapai 122.000 triliun rupiah atau ada gap 24.000 triliun rupiah,” papar Setyo dalam acara yang diselenggarakan CECT Sustainability Universitas Trisakti itu.

Pemerintah pun mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dalam rangka mencapai SDG's. Bentuknya bisa inovasi pendanaan publik, campuran publik dan swasta, perbankan, lembaga keuangan nonbank, investor, hingga filantropi.

“Indonesia cukup maju dalan sustainable finance, karena kita menjadi salah satu the most advance sustainable finance di antara 44 emerging ekonomi,” kata Setyo.

Dia mengatakan target SDG's pada 2030 dalam rangka mewujudkan Indonesia keluar dari middle income trap pada 2041 menuju Indonesia Emas pada 2045. “Jika SDG's tidak tercapai, dampaknya kemiskinan,” katanya.

Lapangan Kerja

Pada kesempatan itu, Koordinator Master Studies in Sustainable Development and Management (Masudem) Univesitas Trisakti, Asep Hermawan, mengatakan tujuan utama program Masudem adalah mendorong pembangunan berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia.

“Program ini melibatkan kampus di Indonesia dan luar negeri, seperti Thailand, Spanyol, Slovakia, Ceska,” kata Asep.

Sementara itu, Chief Sustainability Officer UOB Indonesia, Jenny Hadikusuma, mengatakan lembaga keuangan khususnya bank sudah memiliki visi untuk meningkatkan penghimpunan dan penyaluran dana yang berkelanjutan sesuai dengan tuntutan global.

“Di bank bukan hanya menyalurkan pembiayaan ke sektor yang sifatnya go green, tetapi dari awal sudah berupaya menghimpun dana dari sumber pembiayaan yang berkelanjutan,” kata Jenny.

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan lambannya pencapaian SDGs karena krisis politik, kemanusiaan, ekologi yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, ketimpangan, serta pengangguran.

“Negara harus hadir untuk mewujudkan misi SDG's yang selaras dengan tujuan nasional dan tugas konstitusional,” tegas Awan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan salah satu kendala saat ini adalah lambannya progres pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) dari target global. Energi bersih dan energi terjangkau merupakan salah satu poin dari 17 poin SDGs.

Dibutuhkan 11 terawatt atau 11.000 gigawatt (GW) kapasitas energi terbarukan terpasang pada 2030, sehingga memerlukan peningkatan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat dan efisiensi energi sebesar dua kali lipat yang juga ditegaskan dalam KTT Iklim COP 28 di Dubai, November 2023 lalu.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Vitto Budi

Tag Terkait:

Bagikan: