Tanpa Upaya untuk Menjauhi Bahan Bakar Fosil, Akan Meningkatkan Dampak Perubahan Iklim
Singapura akan mengimpor energi surya dari Australia melalui kabel sepanjang lebih dari 4.000 kilometer.
Foto: istimewaSINGAPURA - Konferensi energi "Pekan Energi Internasional Singapura", yang diadakan pada Senin (21/10) hingga Jumat (25/10), mengangkat tema biaya transisi global dari bahan bakar fosil sebagai poin utama diskusi.
Dikutip dari The Straits Times, tetapi yang kurang dibicarakan saat itu adalah bagaimana biaya-biaya ini akan dibandingkan dengan biaya jika tidak melakukan apa-apa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa transisi energi global akan membutuhkan biaya. Bahan bakar fosil telah menggerakkan perekonomian selama beberapa dekade, dan meninggalkan status quo ini tidak akan mudah atau murah.
Misalnya, Singapura mengumumkan selama acara tersebut mereka telah memberikan persetujuan bersyarat bagi sebuah perusahaan untuk mulai mengimpor energi surya dari Australia melalui kabel sepanjang lebih dari 4.000 kilomter, dalam proyek besar yang diperkirakan menelan biaya 24 miliar dollar AS.
Kemudian, ada pula biaya untuk meningkatkan infrastruktur jaringan, karena jaringan transmisi harus diperkuat agar memungkinkan pemindahan listrik yang andal dari berbagai sumber pembangkitan, entah itu ladang tenaga surya di Australia atau bendungan pembangkit listrik tenaga air di Laos, menuju rumah-rumah dan kantor-kantor.
Pada konferensi tersebut, pimpinan perusahaan minyak terbesar di dunia, Aramco, bahkan mengatakan bahwa "tidak realistis" dan "terlalu mahal" bagi negara-negara berkembang untuk beralih dari bahan bakar fosil, karena negara-negara ini akan membutuhkan "jumlah modal awal yang sangat besar" untuk mendorong transisi tersebut.
Tetapi berfokus hanya pada biaya transisi akan mengabaikan gambaran yang lebih besar, terutama dengan dampak iklim yang sudah dirasakan di sini dan saat ini.
Pada akhir September, Nepal dilanda banjir musim hujan dan tanah longsor parah yang menewaskan lebih dari 200 orang. Banjir menggenangi permukiman dan merusak jalan raya serta pembangkit listrik tenaga air, dengan kerugian diperkirakan sedikitnya 127 juta dollar AS.
Sedangkan Filipina utara masih dilanda Badai Tropis Trami, yang telah menyebabkan lebih dari 150.000 orang mengungsi dan menewaskan sedikitnya 70 orang. Perkiraan awal menyebutkan kerusakan pada pertanian dan infrastruktur mencapai 291 juta peso.
Tidak melakukan tindakan apa pun, atau meneruskan kegiatan seperti biasa, tanpa upaya untuk menjauhi bahan bakar fosil, akan lebih mahal, dalam sejumlah hal. Pertama, meningkatnya dampak perubahan iklim.
Walaupun Singapura menyumbang 0,1 persen emisi gas rumah kaca dunia, Republik ini sangat rentan terhadap dampak seperti kenaikan permukaan air laut dan panas ekstrem.
Banjir dan kekeringan hebat di wilayah tersebut dan di tempat lain dapat memengaruhi ketahanan pangan Singapura. Ketika Malaysia dilanda banjir pada awal tahun 2023, pasar basah menghadapi gangguan pasokan impor sayur, dengan sejumlah kios dilaporkan menaikkan harga hasil bumi.
Laporan terkini oleh Program Lingkungan PBB menemukan kebijakan iklim saat ini akan menyebabkan pemanasan global yang dahsyat hingga 3,1 derajat C pada akhir abad ini. Dunia telah menghangat sekitar 1,3 derajat C di atas tingkat pra-industri, dan tujuan Perjanjian Paris, yang tampaknya semakin tidak tercapai, bertujuan untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat C.
Kedua, ada biaya yang harus dikeluarkan jika tidak melakukan transisi juga.
Banyak pemerintah dan lembaga keuangan di seluruh dunia menanggapi sains dan memperketat kebijakan mereka, dengan tujuan untuk menekan emisi karbon. Misalnya, lebih banyak negara kini menetapkan harga karbon untuk memaksa perusahaan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan semakin banyak pula bank yang berjanji untuk tidak mendanai pembangkit listrik tenaga batu bara.
Tarif pajak karbon Singapura meningkat dari 5 dollar AS per ton emisi menjadi 25 dollar AS per ton mulai tahun 2024. Tarif akan dinaikkan menjadi 45 dollar AS per ton pada tahun 2026 dan 2027, dengan rencana tarif akan mencapai antara 50 dollar AS dan 80 dollar AS pada tahun 2030.
"Jika Singapura tidak mampu melakukan dekarbonisasi pada sektor listriknya, negara tersebut akan berisiko kehilangan perusahaan yang berkomitmen untuk mengurangi emisi terkait penggunaan energi," kata Ali Izadi-Najafabadi, kepala organisasi riset Bloomberg New Energy Finance (BloombergNEF) untuk Asia-Pasifik.
Ini berarti perusahaan yang berjanji untuk beralih sepenuhnya ke energi terbarukan di bawah inisiatif global RE100 (Renewable Energy 100%), dari Apple hingga Google, kemungkinan akan mempertimbangkan kembali Singapura sebagai basis operasi.
Ketiga, tanpa mengambil langkah untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan, banyak manfaat, mulai dari peningkatan kesehatan hingga penciptaan lapangan kerja, tidak dapat terwujud.
Sebuah studi kelayakan AS-Singapura tentang konektivitas energi di Asia Tenggara menilai bahwa pembangunan jaringan listrik Asean tidak hanya akan menyediakan lebih banyak listrik hijau, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi polusi udara dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, dan memompa investasi yang signifikan untuk sektor energi.
Ini akan mencakup investasi sebesar 2 miliar dollar AS setiap tahunnya untuk penelitian dan pengembangan, dan 1,4 triliun dollar AS secara kumulatif untuk membangun kapasitas pembangkitan listrik.
Sektor manufaktur di kawasan itu juga akan menerima dorongan, dengan permintaan yang lebih besar untuk panel surya, baterai, dan kabel.
Di tengah meningkatnya biaya hidup, gagasan tentang kenaikan harga utilitas merupakan hal yang sulit diterima. Namun, kita tidak boleh mengabaikan biaya yang lebih tinggi akibat tidak bertindak, karena perubahan iklim terus menghancurkan kehidupan dan mata pencaharian di seluruh dunia.
"Biaya tindakan mungkin tampak tidak mengenakkan dalam jangka pendek, tetapi biaya tidak bertindak tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang," kata David Broadstock, kepala penelitian transisi energi di NUS (National University of Singapore) Sustainable and Green Finance Institute.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 3 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
- 4 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 5 Bayern Munich Siap Pertahankan Laju Tak Terkalahkan di BunĀdesliga