Tanpa Perbaikan, RI Sulit Raih Peluang Relokasi Industri dari Tiongkok
Relokasi Industri
Foto: IstimewaJAKARTA – Indonesia harus bersaing ketat dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara (Asean), seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, Kamboja, dan Laos untuk memperebutkan investasi asing seiring dengan makraknya relokasi industri dari Tiongkok.
Sebab itu, Indonesia harus berbenah secepat mungkin menghilangkan berbagai hambatan yang selama ini mengganjal masuknya investasi seperti ekonomi biaya tinggi, pajak siluman, birokrasi yang korup dan kepastian hukum yang tidak jelas. Pakar ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan Indonesia harus menangkap peluang dari dampak kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden terpilih Donald Trump, yang diperkirakan akan mendorong industri-industri keluar dari Tiongkok untuk mencari tempat baru bagi pabrik mereka.
“Ketidakpastian akibat perang dagang ASTiongkok adalah masalah penting karena akan memperburuk penurunan ekonomi Tiongkok. Di sisi lain, Indonesia banyak mengandalkan komoditas untuk ekspor, tentu akan terimbas,” kata Dian. Meskipun ada peluang mendapat limpahan dari Tiongkok, namun kondisinya tidak mudah, karena Indonesia harus bersaing dengan negara-negara tetangga sendiri yang selama ini sudah dikenal lebih ramah investasi seperti Vietnam dan Thailand. “Pemerintah harus gerak cepat, meluncurkan terobosan insentif yang “sulit ditolak” investor.
Tapi lebih dari semua itu harus ada reformasi total untuk menurunkan ICOR kita yang jauh dari negara Asean. Cost effeciency dalam produksi harus tercapai, dan yang harus dipenuhi lebih dahulu adalah penghapusan ekonomi biaya tinggi, praktik-praktik pungli, dan penegakan hukum yang adil. Karena ini akan memberi rasa tenang dan kepastian investor dalam menjalankan usaha mereka,” papar Dian.
Lebih Rentan
Donald Trump sendiri yang baru terpilih sebagai Presiden AS untuk masa jabatan 2025–2029 mengancam akan mengenakan tarif 60 persen terhadap impor barang-barang Tiongkok, sehingga akan berdampak besar pada negara dengan skala ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Dikutip dari The Business Standard, bukan hanya tarif yang jauh lebih tinggi daripada 7,5 persen– 25 persen yang dikenakan pada Tiongkok selama masa jabatan pertamanya, ekonomi Tiongkok juga berada dalam posisi yang jauh lebih rentan karena krisis properti sejak 2021 yang menyebabkan pendapatan pemerintah daerah di Tiongkok anjlok.
Kelebihan pasokan perumahan menyebabkan sektor properti tidak akan mungkin kembali menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Kemunduran properti itu telah membebani pemerintah daerah karena utangnya tidak berkelanjutan. Sementara itu, Beijing sedang menyiapkan bantuan fiskal bagi mereka untuk mengekang kewajiban mereka karena bebannya sangat besar. Kondisi itu membatasi kemampuan Tiongkok untuk menanggapi guncangan pertumbuhan eksternal apa pun.
Menurut Bank for International Settlements, Dana Moneter Internasional memperkirakan total utang pemerintah mencapai 147 triliun yuan (20,7 triliun dollar AS) pada akhir tahun 2023. Jika ditambahkan dengan utang rumah tangga dan perusahaan, angka tersebut akan melampaui 350 triliun yuan atau kira-kira tiga kali lipat ukuran ekonomi.
Dengan upah dan pensiun yang rendah, pengangguran yang tinggi, serta jaring pengaman sosial yang lemah menyebabkan pengeluaran rumah tangga Tiongkok di bawah 40 persen PDB, sekitar 20 poin persentase di belakang rata-rata global. Untuk meningkatkannya diperlukan lebih banyak utang atau perombakan total terhadap cara pendapatan nasional didistribusikan, sehingga hanya menguntungkan rumah tangga dengan mengorbankan pemerintah dan bisnis.
Krisis properti, utang yang menumpuk, dan konsumsi yang lemah telah memicu tekanan deflasi. Kebijakan Tiongkok untuk mengalihkan sumber daya dari pasar properti ke sektor manufaktur, bukan konsumen, telah memicu apa yang digambarkan oleh pemerintah Barat sebagai kelebihan kapasitas industri.
Berita Trending
- 1 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 2 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 3 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 4 Sabtu, Harga Pangan Mayoritas Turun, Daging Sapi Rp131.990 per Kg
- 5 Dorong Sistem Pembayaran Inklusif, BI Hadirkan Tiga Layanan Baru BI-Fast mulai 21 Desember 2024
Berita Terkini
- Pemda Diimbau Waspadai Kenaikan Harga Komoditas Jelang Nataru
- Sejak Posko Dibuka, KAI Commuter Catatkan 4 Juta Pengguna Selama Empat Hari Angkutan Nataru 2024
- Kemensos Gerak Cepat Salurkan Bantuan Senilai Rp1,8 Miliar untuk Korban Banjir Makassar
- Raisa Andriana Liburan Akhir Tahun di Prambanan
- Tarik Minat Belanja