Tanpa Perbaikan Fundamental, Rupiah Sulit Bersaing Dengan Mata Uang di Asia
Bank Indonesia (BI)
Foto: istimewaJAKARTA - Keputusan mengejutkan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan BI Rate 0,25 persen menjadi 5,75 persen menyebabkan nilai tukar rupiah sulit menguat lebih dari mata uang Asia lainnya.
Analis Bank Woori Saudara Rully Nova mengatakan risiko ketidakpastian global karena faktor geopolitik belum reda di pasar keuangan, sehingga pelaku pasar butuh suku bunga lebih tinggi dalam waktu yang lebih lama. Padahal, indeks dollar Amerika Serikat (AS) sudah mengalami pelemahan menjadi 108,6 dan yield obligasi AS turun jadi 4,61 persen.
Bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) juga kata Rully sudah memberikan pernyataan dovish yang berefek terhadap kurs rupiah. “The Fed tidak menghilangkan peluang penurunan suku bunga di paruh pertama tahun ini, bahkan di meeting Maret jika inflasi terus membaik,” katanya.
Diminta terpisah, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menyampaikan pandangannya terkait tantangan yang dihadapi nilai tukar rupiah. Menurutnya, rupiah sulit menguat secara signifikan dibandingkan mata uang Asia lainnya karena kelemahan mendasar pada fundamental ekonomi Indonesia.
Salamuddin menegaskan bahwa kebijakan fiskal dan moneter sebagai salah satu faktor utama yang memperburuk situasi. Penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) dari 6 persen menjadi 5,75 persen, menurutnya, adalah langkah untuk menarik likuiditas publik demi mendukung pembiayaan utang jangka pendek dengan penerbitan SBN dan SBRI. Namun, langkah ini justru memperlihatkan lemahnya fundamental rupiah.
“Kebijakan ini menunjukkan bahwa BI terlalu bergantung pada strategi jangka pendek untuk mengatasi tekanan terhadap nilai tukar, sementara kebutuhan reformasi mendasar diabaikan,” kata Salamuddin.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Instute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan, lemahnya rupiah karena kebutuhan dollar AS tinggi sementara supply dollar AS di Indonesia masih kurang memenuhi kebutuhan tersebut.
Tingginya kebutuhan dollar AS itu karena kebutuhan membayar utang luar negeri, kemudian ?untuk kebutuhan impor barangditambah untuk transaksi pembayaran lainnya.
“Makanya pemerintah harus mengurangi penarikan utang baru dari luar. Begitu juga kebergantungan impor harus dikurangi, agar rupiah bisa menguat,”tegas Esther.
Menurut Esther, kuncinya jika ingin nilai tukar rupiah terapresiasi (menguat) maka harus meningkatkan produktivitas untuk mendongkrak kapasitas ekonomi. Upaya mengatasi pelemahan rupiah ujarnya harus dilakukan dengan membenahi faktor-faktor fundamental, seperti membangun industri manufaktur dan meningkatkan produksi pangan.
“Intinya rupiah akan stabil kalau faktor fundamental baik, bukan karena faktor temporer dan sentimen saja,”tandas Esther.
Tanpa perbaikan fundamental, rupiah sulit akan bersaing dengan mata uang lain di Asia.
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada penutupan perdagangan akhir pekan ini melemah 4 poin atau 0,02 persen ke level 16.380 per dollar AS dari sebelumnya sebesar 16.376 per dollar AS.
Arus Modal Keluar
Sebelumnya Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky berharap BI menahan suku bunga acuan untuk menopang rupiah yang masih berada di bawah tekanan sepanjang Desember 2024.
Meskipun The Fed menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25 persen hingga 4,5 persen pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Desember 2024, namun arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, jelas Riefky masih berlanjut.
LPEM mencatat, sejak pertengahan Desember 2024 hingga pertengahan Januari 2025, arus modal keluar dari Indonesia mencapai 750 juta dollar AS atau 12,22 triliun rupiah dengan asumsi kurs 1 dollar ASsetara dengan 16.292 rupiah.
Angka tersebut terdiri atas 120 juta dollar AS (1,96 triliun rupiah) keluar dari pasar obligasi dan 630 juta dollar AS atau 10,26 triliun rupiah keluar dari pasar saham. Selama periode itu, Riefky mengatakan bahwa rupiah melanjutkan depresiasi ke level 16.195 per dollar AS pada 9 Januari 2025 atau turun 2,11 persen dari level bulan sebelumnya 15.860 per dollar AS.