Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 17 Jan 2025, 01:15 WIB

Ketimpangan Meningkat, yang Kaya Semakin Kaya dan yang Miskin Semakin Miskin

Foto: Sumber: BPS - koran jakarta/ones

JAKARTA- Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode September 2024 seperti dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya fenomena yang anomali. Anomali itu karena tingkat kemiskinan secara nasional turun 0,46 persen dari 9,03 persen pada Maret 2024 menjadi 8,57 persen per September 2024. Sementara, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di Indonesia pada September 2024 justru naik. Hal itu, tecermin dengan rasio gini sebesar 0,381, meningkat dari sebelumnya sebesar 0,379 pada Maret 2024.

Guru Besar bidang Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airangga (Unair), Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan, ketimpangan atau kesenjangan yang memburuk membuktikan bahwa polarisasi sosial masih mewarnai masyarakat Indonesia.

Jika tidak diatasi kata Bagong, polarisasi sosial itu akan menghambat tujuan pemerintah membawa Indonesia naik kelas menjadi negara maju.

“Polarisasi sosial misalnya saja kekuasaan pemilik modal dengan tenaga kerja yang mengarah pada proses yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Saat harga beras naik, petani sebagai produsen utama justru harus membayar lebih mahal karena mereka hanya menjual gabah, sedangkan harganya naik tinggi karena oleh pemilik modal gabah diproses dengan mesin,” kata Bagong.

Tuntutan pembangunan dan perubahan yang mengandung kepentingan politik dan ekonomi juga hanya menimbulkan polarisasi. Hal itu yang menyebabkan masyarakat yang seharusnya menjadi subyek pembangunan malah terpinggirkan.

Sementara paket-paket program pengentasan kemiskinan yang lebih berorientasi pada angka produksi dan berdasar logika kuantitatif, justru melahirkan polarisasi sosial masyarakat yang makin lebar karena tidak ada jaminan distribusi kesejahteraan akan merata.

“Masalahnya, kondisi ini bukan hanya menyebabkan ketimpangan sosial tapi juga biaya sosial yang harus dibayar akan lebih besar. Karena negara yang selalu diganggu persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial, akan kesulitan untuk bersaing sejajar dengan negara lain karena selalu terganggu masalah internal yang kontraproduktif,” ungkap Bagong.

Tidak Terangkut

Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengatakan, gini ratio ini berkaitan dengan kemiskinan yang menurun. Penurunan penduduk miskin lebih banyak disebabkan oleh kenaikan garis kemiskinan yang tipis karena terjadi deflasi di bulan Mei-September 2024.

Menurut Nailul, perubahan garis kemiskinan Maret 2024-September 2024 hanya 2,11 persen. Sedangkan biasanya sebesar 5 sampai 8 persen. Selain itu, di bulan Juni 2024 juga tercatat ada pencairan bansos, di antaranya program keluarga harapan (PKH). Maka sudah pasti secara statistik, terjadi penurunan kemiskinan.

“Kenapa saya berkata demikian? Karena dari sisi ketimpangan justru meningkat. Artinya, ada orang miskin yang tidak “terangkut” ke kategori tidak miskin. Ada exclusion error yang menyebabkan tidak semua orang mendapatkan bansos. Ketimpangan akhirnya melebar. Jadi kemiskinan turun, gini ratio melebar,”tegas Huda.

Dengan meningkatnya gini rasio menandakan pembangunan untuk menarik orang yang paling miskin gagal. Sebaliknya, negara juga gagal dalam melakukan fungsi redistribusi kekayaan melalui pajak.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.