Tanah Tinggi, Tempat Lebih Asing Bagi yang Bandel
Foto: KITLV/WikimediaSelain kamp interniran Tanah Merah di Boven Digoel atau Digul Atas di Nederlands-Nieuw-Guinea atau Nugini Belanda, terdapat kamp kedua yang disebut Tanah Tinggi (dataran tinggi). Kamp ini terletak tiga puluh lima kilometer di hulu.
Tanah Tinggi bahkan lebih terisolasi dibandingkan Tanah Merah dan kontak dengan pemerintah dan tentara sangat minim. Di sini mereka yang ‘tidak dapat didamaikan’ diasingkan, bahkan dalam kondisi yang lebih bobrok dan miskin.
Kamp Orang-orang yang Tidak Dapat Didamaikan, Digoel Atas (KITLV/Wikimedia)
Isolasi yang berkepanjangan menimbulkan banyak perselisihan di antara para interniran dan sangat membebani jiwa. Terdapat juga perselisihan timbal balik di kedua kubu berdasarkan garis etnis dan politik, dengan banyak konflik yang berkobar antara orang Sumatera dan orang Jawa.
Meskipun sejak keberadaan Boven-Digoel telah terjadi diskusi baik di Belanda maupun di Hindia Belanda mengenai hak keberadaan kamp tidak sehat ini, namun kamp tersebut tidak pernah dihapuskan. Baru pada tahun 1943, karena Belanda takut akan pembebasan orang-orang interniran oleh Jepang, para tahanan yang tersisa (beberapa ratus) dipindahkan dari Digoel Atas. Setelah penerbangan yang berbahaya, berakhir di Australia, di mana mereka diasingkan lagi di bawah kekuasaan Belanda (di bawah orang lain dengan tawanan perang Jepang).
Pemandangan barak kamp konsentrasi Tanah Tinggi dari kejauhan (KITLV/Wikimedia).
Menurut Charles O. van der Plas (1891-1977), yang memimpin organisasi evakuasi dari Boven-Digul atas nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration), situasi di sana sangat buruk. Tentang kunjungannya ke kamp pada bulan Maret 1943, ia melaporkan kepada administrator kolonial Belanda Huib van Mook (1894-1965) tentang situasi:
“Kemudian suasana di dalam penjara sangat buruk. Kelompok agama dan beberapa kelompok komunis yang fanatik bertahan dengan baik. Terlebih lagi, seseorang melihat laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun setelah sepuluh tahun ditahan, berwarna abu-abu dan patah,” ungkapnya L de Jong dalam Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog 11C: Nederlands-Indië III (1986).
“Laki-laki yang sangat tua, bersandar pada tongkat, tampaknya belum mencapai usia lima puluh tahun. Ada banyak rasa saling benci dan iri hati dan masyarakat Tanah Tinggi adalah orang-orang gila, semua tinggal di rumah-rumah yang dibarikade dan bersenjatakan tombak kayu, saling mencari nyawa,” tulisnya menggambarkan.
Hanya ketika ‘Digoulis’ dari Tanah Merah menyerahkan diri kepada pemerintah Australia barulah mereka dibebaskan dari penahanan Belanda di Australia.Pada masa Perang Dekolonisasi Indonesia (1945-1949), Belanda menyarankan pembukaan kembali Boven Digoel.
Namun pada tahun 1946 dilakukan persiapan untuk menutup kamp tersebut dan pada tahun 1947 letnan gubernur jenderal memutuskan untuk mengeluarkan dua puluh empat interniran terakhir dari Boven -Untuk membebaskan Digoel. hay
Berita Trending
- 1 Hari Kamis KPU tetapkan Gubernur
- 2 the Straits Times Memprediksi Presiden Prabowo Bersama Sembilan Presiden dan PM Negara Lain Jadi Pemimpin Dunia Berpengaruh
- 3 Kebijakan PPN 12 Persen Masih Jadi Polemik, DPR Segera Panggil Menkeu
- 4 Masuki Masa Pensiun, Kepala BSSN dan Kepala Basarna Diganti
- 5 Gara-gara Faktor Inilah, Pelantikan Kepala Daerah Terpilih di Provinsi Bali Diundur
Berita Terkini
- Kebakaran Hutan di Los Angeles Meluas ke Permukiman Warga
- Mendes: Fokus dana desa untuk atasi kemiskinan hingga ketahanan pangan
- Pesawat Jatuh di Lautan Australia, 3 Wisawatan Tewas
- Breaking News! Patrick Kluivert Resmi Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Masyarakat di bawah kaki Ile Lewotolok diimbau waspadai bahaya lahar