Tanah Subur Dijadikan Beton, Tanah Rawa Dipaksa Jadi Lahan Pertanian
Alih Fungsi Lahan
» Ironisnya, negara harus berutang ke luar negeri hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, padahal kita punya lahan subur yang malah diserahkan ke oligarki untuk dijadikan properti.
JAKARTA - Upaya pemerintah menciptakan kondisi swasembada pangan dinilai akan sulit direalisasikan selama oligarki mengendalikan arah kebijakan negara. Kelompok oligarki itu memiliki posisi tawar yang kuat sehingga mampu memaksa pemerintah mengambil kebijakan yang menguntungkan kepentingan dan bisnis mereka dan kelompoknya. Deputi bidang Pemantauan Indonesia Human Rights Committee and Social Justice (IHCS), Lalu Ahmad Laduni, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Selasa (1/10), mengatakan salah satu contoh oligarki mampu menekan pemerintah adalah soal peruntukan lahan pertanian.
"Mereka mampu memaksa pemerintah mengalihkan lahan subur di Pulau Jawa yang cocok jadi pertanaman pangan beralih fungsi menjadi hamparan beton aset properti seperti di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Tangerang. Beberapa kecamatan di Tangerang tersebut yang seharusnya menjadi lahan sawah subur malah dialihkan ke pengembang," katanya. Dia lalu mengkritik langkah pemerintah yang justru malah keluar dari Pulau Jawa yang subur ke Kalimantan dan Papua di lahan rawa-rawa dengan membangun lumbung pangan atau food estate. "Tanah sawah yang subur dibeton, sementara tanah rawa dipaksa jadi sawah. Ini jelas kebijakan yang keliru dan tak akan berhasil," tegasnya.
Di sisi lain, kebergantungan Indonesia pada impor pangan semakin parah, di mana sekitar 28 miliar dollar AS devisa yang dihabiskan setiap tahun hanya untuk impor makanan. Hal ini menurutnya memperburuk beban utang negara. "Ironisnya, negara harus berutang ke luar negeri hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, padahal kita punya lahan subur yang malah diserahkan ke pengembang," ungkap Laduni. Oleh sebab itu, Laduni menyerukan ke pemerintah agar segera menghentikan kebijakan yang berpihak pada oligarki dan fokus pada penyelamatan lahan pertanian produktif untuk mencapai swasembada pangan yang sesungguhnya.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas, mengatakan kemudahan yang berlebihan terhadap investor telah menyebabkan laju alih fungsi lahan tidak terkendali yang berdampak pada pertanian. "Alih fungsi lahan memang keniscayaan yang mengiringi pembangunan, tapi masalahnya prosesnya sering diwarnai intervensi investor, sehingga ketegasan pemerintah dan penegak hukum sangat dibutuhkan," kata Gitadi. Banyak alih fungsi yang terlalu mudah disetujui, dikendalikan investor dan tidak sesuai masterplan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Di situlah pemerintah harus lebih tegas dalam menegakkan aturan, juga kebijakan pembukaan lahan baru, perlu membebankan implementasi kebijakan pada investor penerima manfaat alih fungsi lahan itu. Investor harus diikat secara formalkontraktual, dengan mekanisme yang saling menguntungkan, tapi lebih menguntungkan negara dengan terjaminnya ketersediaan lahan pertanian baru, bisa di mana saja.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Vitto Budi
Komentar
()Muat lainnya