Senin, 18 Nov 2024, 15:45 WIB

Jangan Cuma Memperkuat TNI, Prabowo Juga Perlu Memperkokoh Keamanan Hayati Laut

Ilustrasi.

Foto: The Conversation/Shuttertock

Buntora Pasaribu, Universitas Padjadjaran


Isu pertahanan dan keamanan tak hanya terkait tentara, persenjataan canggih, ataupun perang-perangan. Di Indonesia, negara dengan keberagaman hayati laut terkaya di dunia, gangguan kehidupan laut justru menjadi masalah keamanan yang serius dan mendesak.

Tengok saja masalah bintang laut berduri, spesies pemangsa karang yang bertumbuh sangat cepat di perairan Bunaken, Sulawesi Utara, dan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Karang yang terdegradasi dapat mengurangi kelimpahan ikan, penyerapan karbon, hingga pariwisata setempat.

Ada juga penyakit bintik putih akibat virus yang dibawa oleh kepiting dayung yang tersebar di Cina, Jepang, Korea hingga Malaysia. Sang kepiting dapat menempel di kapal yang berlayar melintasi perairan negara-negara termasuk Indonesia. Virus tersebut dapat menyebabkan kematian massal udang—salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia.

Persoalan-persoalan di atas merupakan bagian dari masalah biosekuriti, yakni kebijakan dan regulasi untuk menganalisis dan mengelola risiko terkait kehidupan dan kesehatan manusia. Risiko tersebut berhubungan dengan lingkungan serta gangguan senjata biologi, seperti virus, hama, bakteri, dan spesies invasif (organisme pengganggu populasi spesies asli).

Indonesia memang memiliki lembaga Badan Karantina Nasional dan didukung oleh Undang Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun, dalam keamanan hayati laut, pelaksanaan biosekuriti masih belum optimal dan tersebar di banyak unit kerja pemerintah—bahkan swasta.

Oleh karena itu, isu biosekuriti di perairan seharusnya menjadi perhatian kepala pemerintahan baru, Prabowo Subianto. Terlebih, Prabowo juga menekankan isu keamanan yang terkait dengan swasembada ekonomi hijau dan biru.

Perlu gerak cepat

Prabowo perlu bergerak cepat menerbitkan kebijakan biosekuriti perairan. Pasalnya, risiko masuknya virus, bakteri, dan spesies invasif, khususnya di perairan, semakin meningkat.

Ini terkait dengan ekspansi kegiatan ekonomi kelautan pada pemerintahan Jokowi melalui program tol laut dan pencanangan poros maritim Indonesia.

Kegiatan perekonomian yang berpusat di laut yakni industri kelautan, transportasi laut, dan rekreasi kapal yang meningkat dalam hingga 11% per tahun selama satu dekade terakhir  dapat menyebabkan potensi biofouling. Fenomena ini menyebabkan perpindahan spesies invasif ataupun spesies asing yang bertumbuh di permukaan kapal.

Ada juga risiko perpindahan organisme lainnya melalui water ballast, yakni di dalam air maupun sedimen yang tersimpan dalam kapal guna menjaga keseimbangan. Kurang lebih ada 7 ribu organisme perairan yang berpindah setiap jam per hari karena water ballast.

Kasus biofouling di Indonesia terdeteksi melalui penemuan kerang hijau Perna viridis pada dua lambung kapal milik PT Pelni yang berlayar dari barat ke timur Indonesia. Kerang hijau merupakan spesies non-asli di perairan Indonesia timur, khususnya di Laut Arafura, dan juga dianggap sebagai hama di Australia.

Selain itu, teridentifikasi pula keberadaan teritip yang mengokupasi terumbu buatan di Pantai Dimas, Trenggalek, Jawa Timur, sehingga mengganggu proyek restorasi karang setempat.

Fenomena serupa juga terjadi di Selandia Baru. Lebih dari 30 kapal dengan ukuran antara 1.400 hingga 32.000 GT terdeteksi membawa berbagai spesies asing seperti alga, teritip, dan kerang, ke negara ini sehingga berdampak pada keberagaman hayati setempat.

Di Australia, biofouling juga ditemukan pada kapal perang yang baru saja menyelesaikan tugas luar negeri, dengan spesies seperti Cymodoce gaimardii dan Neosphaeroma laticaudum tercatat sebagai “penumpang” terbanyak.

Langkah perbaikan

Indonesia harus melindungi seluruh sumber daya perairan dengan memperkuat kebijakan penanganan biofouling maupun water ballast.

Menurut organisasi Kemitraan Pengelolaan Lingkungan Laut Asia Timur (PEMSEA), Indonesia belum memiliki strategi dan kebijakan penanganan biofouling. Pasalnya, bukti ilmiah dari spesies perairan asing maupun invasif serta dampaknya amat sedikit. Per 2023, hanya ada sekitar 22 studi tentang spesies golongan ini.

Salah satu langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah mendata risiko serta merumuskan rencana pengelolaan biofouling dan water ballast dari kapal-kapal. Langkah ini harus diawali dengan penambahan kewajiban kapal dalam aturan pencemaran laut. Contohnya seperti kewajiban pembersihan kapal dari organisme asing setidaknya 30 hari sebelum memasuki perairan nasional.

Pemerintah juga perlu membentuk komite biosekuriti nasional yang telah dirumuskan sejak 19 tahun lalu tapi tak kunjung bekerja karena belum ada kesepahaman soal ruang lingkup biosekuriti. Selain Badan Karantina, komite perlu terdiri dari unsur pemerintah dan pihak terkait seperti perwakilan nelayan, pembudi daya, dan lain-lain.

Indonesia juga harus membangun sinergi antara pemerintah daerah dan pusat untuk mendata berbagai ancaman spesies invasif, khususnya di perairan.

Sinergi tersebut juga perlu melingkupi dukungan serta kerja sama dengan universitas, baik nasional maupun internasional, untuk memperkuat riset dan basis data yang masih sangat kurang. Langkah ini sudah dilakukan pemerintah Australia melalui program hibah The Environmental Biosecurity Project Fund untuk mendukung penelitian dan penguatan kebijakan terkait biosekuriti laut.

Tanpa penguatan riset, upaya perlindungan kekayaan hayati perairan Indonesia bak berjalan dalam gelap.

Samuel Finley, Analis Senior Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan dan mahasiswa doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.The Conversation

Buntora Pasaribu, Assistant Professor, Universitas Padjadjaran

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Bagikan: