Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Tak Hanya Fisik, Makanan Bernutrisi Juga Berkontribusi pada Kesehatan Mental

Foto : Freepik

Ilustrasi.

A   A   A   Pengaturan Font

Penelitian mengungkap pola makan tidak hanya berkontribusi pada kesehatan fisik tapi juga kesehatan mental seseorang.

Telah banyak orang memilih mengonsumsi makanan tertentu seperti es krim, pancake, pizza dan lainnya ketika tengah depresi. Faktanya, keterkaitan antara pola makan dan emosi berasal dari hubungan erat antara otak dan saluran pencernaan, yang sering disebut sebagai "otak kedua".

Berbagai penelitian bidang psikiatri gizi yang meneliti hubungan antara pola makan dan kesehatan mental menunjukkan, saluran pencernaan terutama usus adalah rumah bagi miliaran bakteri atau mikroba yang menghasilkan semacam neurotransmitter yang secara konstan membawa pesan dari usus ke otak.

Menurut reportase outlet berita Amerika, The New York Times, korelasi antara pola makan dan kesehatan mental pertama kali diterbitkan pada 2017. Dalam studi bertajuk A randomised controlled trial of dietary improvement for adults with major depression (the 'SMILES' trial), para peneliti merekrut 67 orang yang mengalami depresi klinis untuk menguji apakah perubahan pola makan akan membantu meringankan depresi mereka.

Responden kemudian dibagi menjadi dua kelompok di mana kelompok pertama diminta menjalankan pola diet Mediterania. Sementara kelompok lainnya hanya diminta menemui seorang asisten peneliti yang memberikan dukungan sosial tanpa menyarankan untuk diet.

Kelompok yang mengadopsi pola diet Mediterania diminta mengganti kebiasaan konsumsi makanan cepat saji dengan makanan utuh seperti kacang-kacangan, buncis, buah-buahan, dan polong-polongan. Mereka juga beralih dari mengonsumsi daging olahan dengan makanan laut dan sedikit daging merah tanpa lemak. Sementara kedua kelompok tetap dinasehati untuk terus mengonsumsi antidepresan atau obat lain yang diresepkan.

Setelah 12 minggu penelitian, skor depresi rata-rata kedua kelompok dilaporkan tetap meningkat mengingat semua responden dari kedua kelompok mendapatkan terapi. Namun, angkanya jauh lebih tinggi pada kelompok yang mengadopsi pola hidup sehat. Sekitar sepertiga atau 33 persen responden pada kelompok tersebut tidak lagi diklasifikasikan mengalami depresi. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kedua, dengan hanya 8 persen.

Senada, dalam penelitian terhadap 150 orang dewasa dengan depresi yang diterbitkan dengan tajuk The Effects of Dietary Improvement on Symptoms of Depression and Anxiety: A Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials, menunjukkan orang-orang yang mengadopsi pola diet Mediterania yang dilengkapi dengan minyak ikan selama tiga bulan mengalami penurunan gejala depresi, stres, dan kecemasan yang lebih besar setelah tiga bulan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Namun, The New York Times melaporkan tidak semua penelitian memiliki hasil yang positif. Uji coba selama setahun yang diterbitkan pada Journal of the American Medical Association pada 2019, menemukan bahwa sementara pola diet Mediterania terbukti bisa mengurangi kecemasan, ia tidak mencegah depresi pada sekelompok orang yang berisiko tinggi.

Penting untuk diingat, penelitian terkait pola makan dan pengurangan tingkat kecemasan atau depresi tidak menunjukkan sebab-akibat melainkan hanya korelasi. Menurut The New York Times, sebagian besar kelompok psikiatri profesional pun belum mengadopsi rekomendasi pola makan sehat dalam pengobatan mereka. Mereka menilai praktik itu masih perlu dibuktikan dengan lebih banyak penelitian sebelum diresepkan sebagai bentuk pengobatan gangguan mental.

Tetapi, pakar kesehatan masyarakat di berbagai negara telah mulai mendorong pasien mereka untuk menerapkan gaya hidup yang sehat, termasuk dalam hal pola makan. Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrists misalnya. Mereka telah mengeluarkan pedoman praktik klinis yang mendorong dokter untuk mengatur diet dan olahraga pasiennya sebelum memberikan mereka obat atau psikoterapi.

Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa tujuan penelitian bukan untuk melihat apakah pola makan yang lebih sehat dapat menggantikan pengobatan, tetapi apakah mereka dapat memberikan manfaat tambahan layaknya olahraga, tidur yang cukup dan gaya hidup baik lainnya.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top