Survei: Warga Asia Tenggara Fokus pada Inflasi dan Ketahanan Pangan
Petani memanen padi yang terendam banjir akibat Topan Yagi, di Desa Phayarphyu, Kotapraja Loikaw, Karenni, Myanmar, Senin (16/9).
"Kekhawatiran iklim tingkat tinggi yang ditunjukkan pada tahun 2021 mungkin telah memberi jalan bagi keasyikan utama kawasan ini dengan isu-isu pokok, bahkan jika perubahan iklim itu nyata dan berdampak langsung pada mereka," tambahnya.
Sementara perubahan iklim telah menjadi ancaman yang terus berkembang di kawasan ini, ada risiko orang-orang mulai melupakan urgensi masalah ini, kata Choi Shing Kwok, kepala eksekutif lembaga tersebut, pada acara media yang mengumumkan hasil survei terbaru.
"Tak henti-hentinya, kita menyaksikan cuaca ekstrem yang memecahkan rekor setiap tahun di hampir semua wilayah yang dapat dihuni di dunia, sampai-sampai banyak dari kita, ketika melihat laporan ini, menjadi agak tidak peka. Namun, di sini, di Asia Tenggara, yang bisa dibilang sebagai garis depan krisis iklim, kita tidak boleh melupakan ancaman ini," katanya.
Namun, ada beberapa kabar baik. Seah menunjukkan temuan positif proporsi orang yang menganggap "perubahan iklim sebagai isu penting yang perlu dipantau" meningkat menjadi 47 persen pada 2024, dari 25,7 persen pada 2021 dan 41,9 persen pada 2023.
"Bagi saya, mereka adalah mayoritas yang diam dan perlu bersuara dan menyampaikan keprihatinan mereka kepada pemerintah," ungkapnya.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Marcellus Widiarto
Komentar
()Muat lainnya