Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Penguatan Riset

Studi: Pasien Kanker Usia Muda Miliki Risiko Depresi Lebih Tinggi

Foto : ISTIMEWA

Firdaus Mohd Abdullah, didiagnosis menderita leukemia limfoblastik akut ketika dia berusia 11 tahun.

A   A   A   Pengaturan Font

SINGAPURA - Pada usia 11 tahun, Firdaus Mohd Abdullah merasa dunianya telah berakhir ketika ia didiagnosis menderita leukemia limfoblastik akut, sejenis kanker.

Dikutip dari The Straits Times, ketika dalam perjalanan pulang sekolah pada 2003, ia merasa ada yang tidak beres setelah mengalami gejala lemah dan pusing.

Saat tiba di rumah, Firdaus menemukan bintik-bintik merah di kaki tetapi tidak paham apa artinya. Dia dibawa ke rumah sakit, di mana dokter menyampaikan berita malang itu. "Orang tua saya menangis. Mereka hancur," ujarnya.

Yang terpikir oleh Firdaus saat itu hanyalah bagaimana agar bisa kembali sehat untuk kembali ke sekolah, berkumpul dengan teman-temannya, dan menjalani apa yang disebutnya kehidupan normal.

Tapi itu tidak terjadi. Perawatan yang ia jalani membuatnya mudah tersinggung. Absen sekolah selama tujuh bulan dan tidak bisa bermain sepak takraw membuatnya merasa terpuruk.

Saat dokter mengatakan dia telah dua tahun sembuh dari kanker, bocah laki-laki itu masih berhati-hati, bahkan tidak percaya. Sekarang 18 tahun setelah sembuh, pria berusia 31 tahun itu telah bisa tersenyum.

Studi terbaru menunjukkan, diagnosis kanker, yang merupakan periode traumatis bagi banyak orang, dapat mengakibatkan konsekuensi psikologis jangka panjang di antara pasien dan penyintas yang lebih muda.

Tim di National University of Singapore (NUS) meninjau dan menganalisis 52 studi tentang hasil psikologis dan kematian akibat bunuh diri pada lebih dari 20 ribu pasien kanker muda dan penyintas.

Peningkatan Risiko

Studi menemukan asien dan penyintas kanker masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda berada pada peningkatan risiko seumur hidup untuk mengembangkan depresi, kecemasan, dan penyakit kesehatan mental, dibandingkan dengan saudara kandung dan rekan mereka yang tidak terkena kanker.

Risiko depresi dan kecemasan lebih tinggi terutama pada mereka yang berusia 30 dan 25 tahun.

Studi ini juga menemukan kelompok-kelompok tertentu, seperti mereka yang didiagnosis menderita kanker pada masa remajanya yang lebih tua, antara usia 15 dan 19 tahun, berisiko lebih tinggi meninggal karena bunuh diri.

"Menerima diagnosis kanker, menjalani pengobatan dan mencoba bertahan dari kanker, semuanya merupakan proses yang menantang bagi pasien kanker, dan bahkan penyintas," kata psikiater dari Department of Psychological Medicine di NUS Yong Loo Lin School of Medicine, Cyrus Ho.

"Untuk remaja dan dewasa muda, proses ini seringkali berarti hilangnya kesempatan dalam hidup, karena mereka kehilangan pendidikan dan interaksi sosial yang merupakan pengalaman formatif kritis di tahun-tahun pertumbuhan mereka," terangnya.

Dia menambahkan mereka juga harus mengatasi perubahan dalam penampilan, kebiasaan makan, dan gaya hidup mereka - yang semuanya merupakan penyesuaian yang sangat sulit pada usia di mana sebagian besar teman sebaya mereka menikmati kehidupan ini.

Pendidikan yang lebih tinggi, pendapatan yang lebih tinggi, dan dukungan sosial yang kuat adalah faktor-faktor yang ditemukan untuk menempatkan pasien dan penyintas pada risiko depresi dan kecemasan yang lebih rendah.

Firdaus mengatakan dia harus berusaha keras untuk tetap kuat dan optimistis. Ayah satu anak ini sekarang menjabat sebagai kepala operasi di Muslim Kidney Action Association, sebuah lembaga pelayanan sosial yang melayani mereka yang mengalami gagal ginjal.

Alumni NUS Medicine dan penulis pertama studi tersebut, Ainsley Ryan Lee, mengatakan, sambil mencurahkan upaya untuk pengobatan kanker, sangat penting untuk mengenali konsekuensi luas yang dapat ditimbulkannya pada kehidupan pasien.

"Ini, termasuk gejala kesehatan mental yang mungkin berkembang selama proses pengobatan dan bahkan setelah remisi," tambahnya.

"Identifikasi dini dan pengelolaan dampak psikologis akan sangat penting dalam penyediaan perawatan holistik untuk pasien kanker," pungkasnya.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top