Skrining Tiroid Penting untuk Cegah Gangguan Pertumbuhan Anak
President Direktur PT Merck Tbk Alexandre de Muralt dan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam acara penyerahan white paper mengatasi kesenjangan perawatan tiroid, di Jakarta, pada Selasa (5/11)
Foto: Koran Jakarta/Haryo BronoJAKARTA – Riset Merck menyatakan, penyakit tiroid di kawasan Asia Pasifik tercatat memiliki prevalensi lebih tinggi dibanding prevalensi global. Sebesar 11 persen populasi orang dewasa di kawasan ini menderita hipotiroidisme, sementara prevalensi global berkisar antara 2-4 persen.
Apabila tidak ditangani, maka penyakit tiroid dapat berdampak negatif pada kualitas hidup individu dan memiliki dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi yang substansial. Kekurangan hormon tiroid yang dikenal sebagai hipotiroid kongenital, tika tidak dideteksi sejak dini, gangguan kesehatan ini dapat menyebabkan berbagai gangguan tumbuh kembang pada anak emotional quotient (EQ) atau intelligence quotient (IQ) rendah.
Gangguan lainnya adalah memiliki tubuh yang pendek atau cebol, kondisi wajah yang cukup khas dialami pengidap hipotiroid kongenital, seperti muka sembab, bibir yang cenderung tebal, dan hidung yang terlihat pesek. Mengalami kesulitan untuk berbicara, dan gangguan kesehatan mental.
- Baca Juga: Diadopsi dari Generasi ke Generasi
- Baca Juga: Apa Tujuan Pembangunan Ziggurat?
Hal ini menjadi alasan pentingnya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya deteksi dan skrining dini karena dampaknya yang signifikan terhadap kesehatan, kualitas hidup, dan ekonomi baik bagi ibu maupun bayi yang baru lahir.
Menyadari hal tersebut, White Paper Tiroid oleh Economist Impact diluncurkan. Tujuannya untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai tantangan utama dan kesenjangan kebijakan untuk mengatasi penyakit tiroid di Asia Pasifik.
Senior Vice President, Merck Healthcare APAC Alexandre de Muralt, mengatakan, pihaknya mendukung White Paper Tiroid oleh Economist Impact. Laporan ini memberi gambaran menyeluruh mengenai tantangan utama dan kesenjangan kebijakan untuk mengatasi penyakit tiroid di Asia Pasifik.
White Paper ini diharapkan dapat mendorong diskusi dan perubahan kebijakan yang berdampak di berbagai negara. Dukungan ini sejalan dengan Manifesto Tiroid Merck, sebuah ajakan untuk bertindak dan merupakan strategi menuju pendekatan yang lebih multidisipliner dalam meningkatkan tingkat pengobatan gangguan tiroid.
“Manifesto tiroid bertujuan untuk mendiagnosis lebih dari 50 juta orang yang hidup dengan hipotiroidisme pada tahun 2030,” ujar dia pada acara konferensi pers di Jakarta pada hari Selasa (5/11).
White Paper dengan judul lengkap “Closing the gap Prioritising thyroid disease in Asia-Pacific White Paper “Closing the gap Prioritising thyroid disease in Asia-Pacific” ini disusun untuk meningkatkan kesadaran tentang penyakit tiroid, khususnya hipotiroidisme, serta dampaknya terhadap kesehatan, kualitas hidup, dan ekonomi masyarakat di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik.
“Dengan menghadirkan data dan hasil riset yang komprehensif, dokumen ini bertujuan untuk memberikan dasar ilmiah bagi pembuat kebijakan dalam memahami pentingnya deteksi dini dan skrining penyakit tiroid. Hal ini terutama pada kelompok berisiko tinggi seperti ibu hamil dan bayi baru lahir.
“Skrining universal diharapkan dapat mencegah dampak jangka panjang dari penyakit tiroid yang tidak terdiagnosis, sehingga dapat mengurangi beban kesehatan dan ekonomi bagi individu dan masyarakat,” terang dia.
Wakil Menteri Kesehatan, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD., Ph.D. mengatakan, program skrining kesehatan menjadi salah satu tugas yang diberikan oleh Presiden Prabowo saat ini kepada Kementerian Kesehatan, termasuk skrining untuk tiroid. Hingga September 2024, sebanyak 1,7 juta bayi baru lahir telah menjalani skrining hipotiroid kongenital.
Ia memaparkan, skrining ini penting untuk mencegah risiko gangguan tumbuh kembang dan penurunan kecerdasan pada bayi. Oleh karena itu, menyambut menyambut baik dukungan Merck atas White Paper Tiroid, yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya skrining tiroid.
“Semoga white paper ini juga bisa turut berkontribusi dalam upaya identifikasi dan literasi yang lebih baik mengenai kelainan tiroid di Indonesia," ujar dia.
Presiden Direktur PT Merck Tbk Evie Yulin menyampaikan, perusahaan farmasi ini mendukung penuh inisiatif untuk meningkatkan kesadaran akan deteksi dan skrining dini. Pada tahun lalu, Merck Indonesia meluncurkan Thyroid RAISE yang bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan InaTA.
“Program ini berfokus pada peningkatan kemampuan tenaga kesehatan untuk melakukan skrining dan diagnosis gangguan tiroid pada populasi orang dewasa yang berisiko tinggi. Sejak diluncurkan hingga akhir September 2024, program ini telah melatih lebih dari 5.000 tenaga kesehatan profesional dalam melakukan skrining tiroid,” ujar dia.
Hampir 69.000 pasien telah diskrining secara digital untuk kondisi tiroid yang menggunakan skoring Wayne dan Billewicz, dan lebih dari 27.000 tes TSH telah dilakukan, dengan tingkat konversi 19 persen atau 5.200 orang yang berpotensi mengalami gangguan tiroid.”
Urgensi Pada Populasi Berisiko Tinggi
Kebijakan skrining untuk bayi baru lahir di Indonesia telah diperkenalkan sejak 2014 dan baru terintegrasi dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2023 untuk meningkatkan cakupan skrining. Hasilnya, sebanyak 1,2 juta bayi baru lahir telah menjalani SHK hingga akhir tahun 2023, dan bahkan telah mencapai 1,3 juta bayi hingga Juli 2024.
Bayi baru lahir yang positif menderita hipotiroidisme kongenital dapat menjalani terapi dan pengobatan untuk mengatasi kondisinya sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Namun, selain skrining pada bayi baru lahir, deteksi dini pada orang dewasa yang berisiko tinggi khususnya ibu hamil juga diperlukan.
Secara ekonomi, skrining pada orang dewasa dan ibu hamil atau biasa disebut skrining universal, terbukti lebih hemat biaya dibandingkan dengan tidak melakukan skrining sama sekali. Studi pemodelan ekonomi kesehatan tentang efektivitas biaya skrining universal untuk hipotiroidisme pada ibu hamil di Indonesia menyimpulkan bahwa skrining universal lebih hemat biaya daripada skrining berisiko tinggi atau tanpa skrining.
Hal ini menghasilkan penghematan biaya sebesar 1,4 triliun rupiah dibandingkan dengan tanpa skrining, sebanyak 801 miliar rupiah dibandingkan Pemerintah Menggencarkan Kegiatan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) Kemenkes dengan skrining berisiko tinggi.
Ketua Umum Indonesian Thyroid Association (InaTA), Dr. dr. Tjokorda Gde Dalem Pemayun, Sp.PD, KEMD, menjelaskan, sebagai perhimpunan para ahli multidisiplin di bidang tiroid, asosiasi ini berkomitmen untuk terus meningkatkan kesadaran akan pentingnya deteksi dini dan pengobatan penyakit tiroid di Indonesia. Pihaknya bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Kesehatan, rumah sakit, dan organisasi medis lainnya, untuk mendorong peningkatan kesehatan tiroid di masyarakat.
“InaTA mendorong peningkatan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk membentuk kebijakan yang mendukung skrining universal untuk populasi berisiko tinggi, terutama ibu hamil,” paparnya.
Direktur Eksekutif International Pediatric Association (IPA), Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp. A, Subsp. End., FAAP FRCPI (Hon.), menyampaikan, hipotiroidisme kongenital dapat menyebabkan gangguan perkembangan mental dan fisik yang serius jika tidak terdeteksi sejak dini. Oleh karena itu, program skrining bayi baru lahir adalah kunci untuk penanganan yang efektif.
“Saat ini, Indonesia tengah mengoptimalkan program nasional SHK pada bayi baru lahir guna mencegah potensi beban keluarga penderita dan negara yang muncul akibat dampak dari disabilitas intelektual permanen,” terangnya,
Pendiri dan Ketua Pita Tosca Astriani Dwi Aryaningtyas, sekaligus penyintas tiroid yang meminum obat seumur hidupnya menjelaskan hidup berdampingan dengan penyakit tiroid itu tidak mudah. Namun demikian sangat bisa untuk berdaya kembali dengan kondisi yang terkontrol.
Merefleksi pengalaman saya sebagai penyintas kanker tiroid, seorang Ibu yang juga memperjuangkan kestabilan kondisi tiroid ketika kehamilan dan kesehatan kelenjar tiroid anak-anak, penyakit tiroid bukanlah akhir segalanya; melainkan living sentence. Apabila penyakit tiroid tidak terdiagnosis dan tidak diobati, maka dapat berdampak buruk pada kualitas hidup seseorang.
“Hilangnya produktivitas dan meningkatnya biaya pengobatan merupakan beban yang signifikan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses yang memadai terhadap perawatan kesehatan. Untuk itu, sebagai pasien dan patient advocate, saya berharap skrining pada orang dewasa dapat diinisiasi dan dimasukkan ke dalam cakupan JKN,” ungkapnya.
Sebagai kelompok advokasi pasien, Pita Tosca berkomitmen untuk bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan, termasuk institusi pemerintah, tenaga kesehatan, dan sektor swasta. Kolaborasi ini untuk mempromosikan kebijakan kesehatan yang mendukung deteksi dini dan akses terhadap pengobatan bagi pasien tiroid.
Berita Trending
- 1 Cagub Khofifah Pamerkan Capaian Pemprov Jatim di Era Kepemimpinannya
- 2 Ini Klasemen Liga Inggris: Nottingham Forest Tembus Tiga Besar
- 3 Cagub Luluk Soroti Tingginya Pengangguran dari Lulusan SMK di Jatim
- 4 Cagub Risma Janji Beri Subsidi PNBP bagi Nelayan dalam Debat Pilgub Jatim
- 5 Sekjen PDIP Hasto Tegaskan Kepemimpinan Risma dan Gus Hans di Jawa Timur Lebih Berakar pada Prestasi
Berita Terkini
- Kapan Pergerakan Lempeng Tektonik Dimulai?
- Para Penasihat Mendesak Trump Umumkan Kemenangan Lebih Awal
- Mengerikan, Ratusan Mahasiswa Selandia Baru Alami Keracunan Massal
- Mengagetkan, Kasus TBC di Kepulauan Seribu Meningkat Drastis
- Polrestro Jakbar Kembali Bongkar Jaringan Narkoba Indonesia, Malaysia, Thailand