Rabu, 05 Mar 2025, 08:10 WIB

Separuh Orang Muda Indonesia Alami Overthinking

Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, peneliti utama dari Health Collaborative Center (HCC) dalam konferensi pers riset berjudul Gambaran Refleksi Diri dan Pemikiran Warga di Indonesia di Jakarta pada hari Senin (24/2). Kredit Koran Jakarta - Haryo Br

Foto: Koran Jakarta - Haryo Brono

Saat ini perilaku overthinking seperti menjadi fenomena yang lazim di masyarakat yang berdampak bagi kehidupan mereka. Permasalah hidup seperti kenaikan harga bahan pokok, biaya pengobatan yang semakin mahal, informasi politik, dan faktor kesehatan.


Orang yang overthinking menggunakan terlalu banyak waktu untuk memikirkan suatu hal dengan cara yang merugikan serta overthinking dapat berupa ruminasi dan khawatir. Dampak dari perilaku ini yang berulang ini membuat kesehatan mental terganggu, penurunan produktivitas, dan kualitas hidup.


Fenomena ‘overthinking’ atau ‘thinking too much’ atau ‘kekhawatiran berlebihan’ adalah fenomena psikologis universal. Systematic review 1979-2014: ‘overthinking’ sudah menjadi bagian dari ‘konsep kultural’ Masyarakat secara global. Pemicu sangat berhubungan dengan kondisi sosio-budaya, politik, ekonomi, dan kesehatan.


“Kondisi di Indonesia saat ini semakin banyak respon komunitas yang menunjukkan tendensi ‘overthinking’ yang diutarakan secara publik di media sosial/media lain. Tagar #Kabur Aja Dulu misalnya merupakan salah satu bentuknya,” kata Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, dari Health Collaborative Center (HCC) dalam konferensi pers di Jakarta pada hari Senin (24/2).


Fenomena overthinking atau berpikir negatif berlebihan kini semakin menjadi perhatian di Indonesia. Studi terbaru yang dilakukan oleh HCC mengungkap bahwa setengah dari populasi orang Indonesia yang diteliti mengalami pola pikir negatif yang berulang atau repetitive negative thinking, dengan kecenderungan khawatir berlebihan terhadap masa depan, sehingga dikenal sebagai overthinking.


Penelitian ini melibatkan 1.061 responden dari 29 provinsi selama bulan Januari hingga Februari 2025 ini menemukan bahwa 50 persen dari mereka mengalami overthinking, sementara 30 persen mengalami ruminasi kebiasaan berpikir berulang tentang kejadian negatif di masa lalu tanpa solusi. Sebanyak 19 persen responden memiliki pola pikir reflektif yang lebih sehat.


Menurut Ray selaku peneliti utama, fenomena overthinking ini bukan hanya sekadar kebiasaan berpikir negatif, tetapi memiliki dampak psikologis yang signifikan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dalam penelitian tersebut overthinking ditemukan secara luas pada separuh orang Indonesia. Fenomena ini dominan terlihat pada usia muda kurang dari 40-tahun, perempuan, dan yang tidak bekerja atau yang baru saja kehilangan pekerjaan.


“Sebagian besar mengalami ruminasi atau kekhawatiran pada masa lalu dan kombinasi dengan repetitive negative thinking atau kekhawatiran berlebihan pada masa depan atau yang kemudian dikenal sebagai overthinking,” terang Ray yang merupakan pendiri HCC ini.


Menurut dia overthinking bukan muncul begitu saja. Hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang menjadi penyebab yaitu berkisar pada permasalah sistemik yang ada di masyarakat. Ada empat faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus overthinking di Indonesia.


Pertama kenaikan harga bahan pokok yang signifikan meningkatkan risiko overthinking hingga dua kali lipat. Kedua biaya pengobatan yang semakin mahal meningkatkan resiko overthinking hingga 2,2 kali lipat.


Ketiga informasi politik yang membingungkan meningkatkan resiko overthinking hingga 1,8 kali lipat. Keempat faktor kesehatan, seperti berita tentang penyakit baru dan resiko wabah, menjadi pemicu dominan overthinking.


Bahkan menurut Dr Ray, penelitian ini juga menemukan bahwa perempuan lebih rentan mengalami overthinking dibandingkan laki-laki, dengan resiko dua kali lipat lebih tinggi. Ini tentu Sebagian besar diperparah adanya beban ganda dan peran ganda perempuan yang harus menjadi istri, ibu rumah tangga dan juga pekerja.


“Sehingga ketika perempuan usia produktif kehilangan pekerja, misalnya karena PHK, maka resiko overthinking menjadi berlipat ganda,” ungkap Ray yang merupakan inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa ini.


Dampak dan Upaya Mitigasi

“Dampak dari overthinking tidak hanya terbatas pada kesehatan mental, tetapi juga memengaruhi produktivitas dan kualitas hidup. Mereka yang sering mengalami pola pikir negatif berulang cenderung lebih mudah mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi,” ungkap pemilik akun Instagram @ray.w.basrowi ini.

Berdasarkan ilmu psikologi dan medis, overthinking Sebagai langkah mitigasi, para peneliti merekomendasikan agar overthinking dijadikan sebagai indikator sosial dan kesehatan dalam kebijakan publik. Selain itu, peningkatan literasi kesehatan mental serta penyampaian informasi kebijakan yang lebih humanis juga menjadi kunci dalam mengurangi kecemasan dan kekhawatiran berlebihan di masyarakat.

Selain itu, menurut Ray, faktor pemicu tingginya overthinking juga perlu dimitigasi secara sistemik oleh kebijakan publik di Indonesia, karena bagaimanapun faktor ekonomi, kesehatan, dan pemberitaan terkait konflik politik terbukti berhubungan langsung dengan tingginya overthinking pada orang Indonesia berdasarkan penelitian ini. Sehingga pemerintah juga perlu memastikan agar kestabilan sosial-politik dan ekonomi terjaga agar orang semakin tidak overthinking.


HCC juga merekomendasikan agar indikator pola pikir termasuk repetitive negative thinking dan overthinking harus menjadi variabel untuk merumuskan kebijakan publik di Indonesia. Bahkan studi dengan skala lebih besar sebaiknya dilakukan agar mendapatkan gambaran komprehensif tentang pola berpikir orang Indonesia.

Redaktur:

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan: