Sekjen PBB: Geng Kriminal Bisa Serbu Port-au-Prince
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres
Foto: AFP/LUIS ACOSTANEW YORK - Ibu kota Haiti bisa dikuasai oleh geng-geng kriminal jika masyarakat internasional tidak meningkatkan bantuan kepada misi keamanan yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa di sana, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, memperingatkan dalam sebuah laporan pada Rabu (22/1).
Guterres mengatakan, dibutuhkan lebih banyak uang, peralatan, dan personel bagi pasukan internasional yang dipimpin Kenya. Ia menambahkan bahwa penundaan lebih lanjut berisiko mengakibatkan keruntuhan bencana lembaga keamanan Haiti dan dapat memungkinkan geng-geng menyerbu seluruh wilayah metropolitan Port-au-Prince.
SekJen PBB menyesalkan bahwa misi tersebut masih belum dikerahkan dengan kekuatan penuh, sehingga membatasi kapasitasnya untuk mendukung polisi nasional Haiti.
Menteri Luar Negeri Haiti Jean-Victor Harvel Jean-Baptiste, saat berpidato di sebuah pertemuan Dewan Keamanan PBB, mengatakan bahwa negara tersebut menghadapi kesulitan besar yang mengancam bukan hanya penduduknya tetapi juga kelangsungan hidup negara tersebut.
Pada Oktober 2023 lalu, Dewan Keamanan memberikan lampu hijau kepada misi Dukungan Keamanan Multinasional yang dirancang untuk mendukung otoritas Haiti dalam memerangi kekerasan geng. Namun sejak saat itu, hanya sekitar 800 dari 2.500 petugas polisi yang diharapkan telah dikerahkan.
Lebih dari 5.601 orang tewas di Haiti tahun lalu akibat kekerasan geng, sekitar seribu lebih banyak dibandingkan tahun 2023, kata PBB.
“Kemunduran dalam proses politik Haiti telah berkontribusi pada iklim yang memungkinkan terjadinya kekejaman ini," ucap Guterres dalam laporan tersebut.
Ketidakstabilan
Haiti saat ini tidak memiliki presiden atau parlemen dan diperintah oleh badan transisi, yang berjuang untuk menangani kekerasan ekstrem yang terkait dengan geng kriminal, kemiskinan, dan tantangan lainnya.
PBB juga mencatat 315 kasus hukuman gantung massal terhadap orang-orang yang diduga berafiliasi dengan geng serta 281 kasus dugaan eksekusi cepat oleh polisi.
Lebih dari satu juta warga Haiti terpaksa meninggalkan rumah mereka, tiga kali lipat jumlahnya dibanding tahun lalu.
Negara Karibia ini telah menderita ketidakstabilan selama beberapa dekade, tetapi situasinya meningkat Februari lalu ketika kelompok bersenjata melancarkan serangan terkoordinasi di ibu kota untuk menggulingkan perdana menteri saat itu, Ariel Henry.
Karena tidak populer dan tidak dipilih, Henry mengundurkan diri pada April. Pengunduran diri Henry akhirnya memberi jalan kepada pemerintahan transisi, yang pada November telah memecat perdana menteri sementaranya dan menggantinya dengan perdana menteri saat ini, Alix Didier Fils-Aime.
"Meskipun ada kemajuan di bidang politik dan alasan untuk berharap, namun kerangka transisi masih rapuh," ujar Perwakilan Khusus PBB di Haiti, Maria Isabel Salvador, kepada Dewan Keamanan PBB pada Rabu.
Salvador pun mengatakan situasi kemanusiaan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan mengatakan bahwa lebih dari enam juta orang atau hampir separuh populasi di Haiti, memerlukan bantuan kemanusiaan. SB/AFP/I-1
Berita Trending
- 1 Kurangi Beban Pencemaran Lingkungan, Minyak Jelantah Bisa Disulap Jadi Energi Alternatif
- 2 Keren Terobosan Ini, Sosialisasi Bahaya Judi “Online” lewat Festival Film Pendek
- 3 Laga Krusial PSG Kontra Manchester City
- 4 Pertamina JBT Jamin Pasokan BBM Aman di Tengah Bencana Alam di Jawa Tengah
- 5 Terus Dikebut Pembangunannya, Pembiayaan IKN Skema KPBU Capai Rp60,93 Triliun