Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 31 Jul 2021, 13:00 WIB

Sejarah Indonesia Dalam Pertaruhan Olimpiade

Foto: istimewa

Indonesia sudah tampil di Olimpiade Tokyo 2020, penampilan ke-16 sejak pertama tampil pada 1952. Berikut ini adalah sejarah perjalanan Indonesia di pesta olahraga sejagat ini.

Setelah merdeka pada 1945, Presiden Soekarno langsung menegaskan olahraga harus menjadi ajang eksistensi bangsa Indonesia. Olahraga dijadikan Bung Karno sebagai 'ruang kebangsaan' di mata dunia yang sedang dikuliti perang.

Pada Januari 1947, Soekarno meresmikan Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) dengan Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai ketua untuk berdiplomasi. Saat itu target Soekarno Indonesia bisa tampil di Olimpiade 1948 di London, Inggris.

Untuk mendukung persiapan menuju Olimpiade 1948 diadakan Pekan Olahraga Nasional (PON) edisi pertama di Solo pada Januari 1948. Sayang, karena saat itu Indonesia diserang sekutu, PON diundur ke September 1948. Indonesia pun gagal mengirim kontingen ke Olimpiade.

Begitu Sekutu angkat kaki, tekad tampil di Olimpiade kembali digelorakan. Salah satunya dengan mengubah KORI menjadi Komite Olimpiade Indonesia pada 1950, juga melebur Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) dengan KOI pada 1951.

Diplomasi internasional pun dilangsungkan. Setelah beberapa korespondensi dan kunjungan dilakukan, akhirnya KOI diakui sebagai anggota International Olympic Committee (IOC) pada 11 Maret 1952.

Karena sudah resmi diakui dunia, Indonesia langsung mengirim kontingen untuk Olimpiade 1952. Ketika itu Indonesia mengirim Thio Ging Hwie (angkat besi), Maram Sudarmodjo (lompat tinggi), dan Habib Suharko (renang) beserta tiga pendamping.

Dalam debut ini Merah Putih tak meraih medali. Thio menempati posisi ke-8 angkat besi kelas ringan, Sudarmodjo berada di peringkat ke-20 lompat tinggi, sedangkan Habib tak lolos dari babak penyisihan renang gaya dada 200 meter putra.

Empat tahun berikutnya, Olimpiade 1956 di Melbourne Australia, Indonesia mengirim 22 atlet. Rinciannya, 3 atletik, 1 menembak, 3 renang, 1 angkat besi, 1 anggar, dan 13 pemain sepak bola. Dari enam cabang olahraga ini tak satu pun meraih medali.

Yang paling dikenang dari Olimpiade 1956 ini, tim sepak bola Indonesia yang dipimpin Maulwi Saelan menahan tim Uni Soviet dengan skor 0-0. Sayang, pada laga ulangan setelah 36 jam berselang Indonesia kalah 0-4.

Belum sukses di Australia, Indonesia berambisi meraih emas perdana di Olimpiade 1960 Roma, Italia. Kali ini jumlah cabang olahraga yang diikuti bertambah banyak, yakni atletik, tinju, sepeda, anggar, berlayar, menembak, renang, dan angkat besi. Total kontingen Indonesia berjumlah 22 atlet.

Sama seperti edisi 1952 dan 1956, pada 1960 pun tak ada medali yang berhasil diraih. Kontingen Indonesia yang sudah meraih dua medali perak dan empat perunggu di Asian Games 1958 tak bisa berbicara banyak di pentas yang lebih tinggi.

Edisi berikutnya, Olimpiade 1964 di Tokyo, Indonesia absen. Hal ini merupakan buntut panjang dari kiprah Indonesia sejak jadi tuan rumah Asian Games 1962.

Indonesia enggan mengundang Israel dan Taiwan saat menjadi tuan rumah Asian Games 1962 di Jakarta. Dua negara ini tak diperkenankan Soekarno tampil di Asian Games sebagai bentuk simpati Indonesia terhadap negara-negara Arab dan China.

Saat itu keputusan Soekarno itu kontroversial. Ada yang mendukung, tak sedikit pula yang mengecam. Kesuksesan Indonesia meraih 11 emas, 12 perak, dan 28 perunggu di Asian Games 1962, pun tak bisa dilanjutkan ke Olimpiade.

Kepalang basah sudah disanksi IOC, Soekarno membuat poros olahraga sendiri. Bersama 51 negara dari Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa, Games of the New Emerging Forces (GANEFO) dilaksanakan pada 10-22 November 1963.

Indonesia akhirnya kembali tampil di Olimpiade pada 1968 di Meksiko. Namun jumlah kontingen Indonesia menyusut. Kali ini Indonesia hanya mengirim enam atlet, terdiri dari atlet renang dan angkat besi.

Olimpiade 1968 adalah edisi pertama ketika Indonesia dipimpin Soeharto setelah Soekarno lengser. Jumlah kontingen yang menurun ini tak lepas pula dari situasi politik yang terjadi saat itu.

Pada Olimpiade 1972 di Munich, Jerman Barat, Indonesia kembali mengirim enam atlet. Bedanya dengan edisi 1968, jumlah cabang olahraga yang diikuti lebih banyak, yakni memanah, atletik, tinju, renang, dan angkat besi.

Empat tahun berikutnya, Olimpiade 1976, Indonesia mengirim tujuh atlet. Cabang olahraga yang diikuti masih sama, tetapi jumlah atlet panahan bertambah dibanding edisi sebelumnya: dari satu menjadi dua atlet.

Setelah absen pada 1964, Indonesia kembali absen pada Olimpiade 1980. Indonesia yang dipimpin Soeharto mengikuti jejak Amerika Serikat yang memboikot Olimpiade Moskow, Uni Soviet. Pasalnya, Soviet menginvasi Afghanistan sejak 1979.

Amerika mengultimatum Soviet agar menghentikan invasinya di Afganistan pada 20 Februari 1980, sebelum pukul 00.01 waktu Amerika. Karena Soviet tak melunak, Amerika memutuskan memboikot Olimpiade yang kemudian diikuti 59 negara lain, termasuk Indonesia.

Empat tahun kemudian, Indonesia bisa mengirim 16 atlet ke Olimpiade 1984 yang berlangsung di Los Angeles.

Namun dari enam cabang olahraga yang diikuti Indonesia: panahan, atletik, tinju, menembak, renang, dan angkat besi, Indonesia belum juga mengakhiri mimpi meraih medali Olimpiade. Torehan terbaik Indonesia hanya menembus semifinal lari 100 meter putra lewat Mohamed Purnomo.

Setelah 36 tahun (sejak 1952) bendera Indonesia tak pernah berkibar di gelandang pemenang, penantian terjawab di Olimpiade 1988 Seoul, Korea Selatan. Indonesia meraih medali perak lewat nomor memanah beregu putri. Berikutnya menjadi ajang bergensi yang terus ditorehkan oleh atlet Indonesia.

Redaktur: Fiter Bagus

Penulis: Zulfikar Ali Husen

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.