Saleh Celios: Putusan MK Sesuai Harapan Publik
Muhamad Saleh, Peneliti Hukum dan Regulasi Celios mengatakan sikap progresif MK dalam putusan ini memiliki cukup alasan, karena tingginya atensi dan harapan publik untuk mendorong reformasi Pemilu melalui jalur peradilan
Foto: istimewaJAKARTA-Muhamad Saleh, Peneliti Hukum dan Regulasi Celios (Center of Economic and Law Studies) mengatakan sikap progresif MK dalam putusan ini memiliki cukup alasan, karena tingginya atensi dan harapan publik untuk mendorong reformasi Pemilu melalui jalur peradilan.
Sejak didirikan pada 13 Agustus 2003, MK telah menangani berbagai pengujian undang-undang, namun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) menjadi yang paling sering diuji, mencakup 152 perkara. Pasal 222 menjadi fokus utama sengketa hukum, dengan 32 perkara yang telah diputus dan tiga kasus lain yang sedang diproses.
Dominasi pengujian terhadap pasal ini mencerminkan tingginya potensi kontroversi serta tantangan konstitusional yang terus berulang. Di saat yang sama, pembentuk undang-undang (DPR-Presiden) tidak ingin merubah pendirian yang terus mempertahankan presidential threshold.
"Keberadaan presidential threshold memberikan “golden ticket” kepada partai politik besar yang menciptakan dominasi yang mengarah pada konsentrasi kekuasaan dalam Pemilu," tegas Saleh, Jumat (3/1)
Kondisi ini menggambarkan situasi di mana satu partai politik atau kelompok elit politik memiliki kendali signifikan, bahkan hampir penuh, atas jalannya proses pemilu, sehingga membatasi ruang kompetisi yang sehat dan merugikan prinsip demokrasi,"
Indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan, sebagaimana tercermin dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU). Pada 2023, skor demokrasi Indonesia tercatat di angka 6,53, turun dari 6,71 pada tahun sebelumnya, menempatkan negara ini dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy).
"Penurunan ini mengindikasikan melemahnya prinsip-prinsip demokrasi. Untuk mendorong lahirnya sistem Pemilu yang berkeadilan, putusan MK ini harus dijadikan momentum reformasi mendasar dalam revisi UU Pemilu ke depan. Perubahan sistem Pemilu sebaiknya dirumuskan pada masa-masa sebelum proses Pemilu berlangsung (tidak mendekati tahapan atau pada masa tahapan),"ucap Saleh.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan terkait penghapusan ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, yang sebelumnya mensyaratkan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya. Putusan tersebut dijatuhkan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Ketentuan yang dinyatakan bertentangan ini diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MK telah tegas menyatakan bahwa presidential threshold sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.
Presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Namun, menurut Saleh, putusan MK tentang Presidential Threshold masih berpotensi dilanggar oleh pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu. Pembentuk undang-undang tidak mengulangi upaya pengabaian putusan MK seperti yang hampir terjadi dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pilkada, yang banyak ditolak publik.
"Pembentuk undang-undang tidak perlu menafsirkan putusan MK tentang Presidential Threshold, melalui langkah-langkah yang manipulatif untuk terus mempertahankan dominasi Parpol,"pungkasnya.
Adapun MK telah memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.
Dalam konteks tersebut, Mahkamah menilai gagasan penyederhanaan partai politik dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan bentuk ketidakadilan.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemerintah Siapkan Pendanaan Rp20 Triliun untuk UMKM-Pekerja Migran
- 2 Kabar Gembira untuk Warga Jakarta, Sambung Air PAM Baru Kini Gratis
- 3 Usut Tuntas, Kejati DKI Berhasil Selamatkan Uang Negara Rp317 Miliar pada 2024
- 4 Pemkot Surabaya Mengajak UMKM Terlibat dalam Program MBG
- 5 Seekor gajah di Taman Nasional Tesso Nilo Riau mati
Berita Terkini
- Panglima mutasi 101 perwira tinggi, termasuk Kepala BSSN dan Basarnas
- Basarnas: Pencarian tiga nelayan Cilacap yang hilang kontak masih berlanjut
- Mahasiswa UI Usulkan Penghematan Skrining Penyakit Calon Pengantin
- Upacara Pemakaman Kenegaraan Presiden AS ke-39 Jimmy Carter Dimulai
- Rapper Nicki Minaj Digugat Mantan Karyawan