Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sektor Pertambangan - Potensi Kehilangan Royalti Ditaksir Capai Rp33,8 Triliun

Royalti 0% Hilirisasi Batu Bara Hambat Transisi Energi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Royalti nol persen termuat dalam Paragraf 5 Pasal 128A Perpu UU Cipta Kerja tentang perubahan iuran produksi/ royalti produk hilirisasi batu bara menjadi nol persen. Itu menjadi salah satu poin sangat krusial dalam Perpu Cipta Kerja di bidang energi dan lingkungan.

Peneliti Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Saleh, mengatakan langkah tersebut tidak mendukung proses transisi energi. Pasalnya, hal itu tidak memiliki basis kajian lingkungan serta tidak mengadopsi prinsip atau asas pembangunan berkelanjutan.

Hal lainnya, komitmen transisi energi hasil G20 Bali tak diakomodasi dalam regulasi tersebut. "Aturan ini melemahkan Kebijakan transisi energi berkeadilan dalam RUU EBT yang tengah dibahas dalam bentuk memberi insentif bagi perusahaan batu bara untuk terus melakukan eksploitasi," tegasnya dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (1/2).

Adanya royalti nol persen kepada pelaku usaha sektor batu bara yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan komoditas tersebut akan mendorong terjadinya hilirisasi sehingga akan memperpanjang kecanduan Indonesia kepada sumber energi fosil yang tidak ramah lingkungan.

Sementara itu, klaim bahwa produk turunan batu bara atau Dimethyl Ether (DME) mampu menggantikan impor LNG pun diragukan. "Keekonomian DME jauh berada di bawah impor Liquefied Natural Gas (LNG). Hal ini menunjukkan adanya solusi palsu (false solution) dalam mendorong efisiensi energi di Indonesia," tandasnya.

Dampak lainnya dari aturan ini adalah perbankan cenderung kembali melakukan penetrasi kredit ke sektor pertambangan batu bara dalam jangka panjang. Per November 2022, penyaluran kredit investasi di sektor pertambangan tumbuh 74,2 persen, sementara kredit modal kerja ke sektor pertambangan naik 31 persen secara tahunan.

"Situasi ini akan menimbulkan risiko pengurangan porsi penyaluran kredit pada sektor yang justru dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi," ungkap Saleh.

Picu Kerugian

Direktur Eksekutif (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkapkan berdasarkan perhitungan Celios, apabila insentif ini diberlakukan dapat memicu kerugian cukup besar bagi negara. Dengan asumsi total produksi batu bara sebesar 666,6 juta ton per tahun, potensi kehilangan royalti ditaksir mencapai 33,8 triliun rupiah per tahunnya.

"Kehilangan royalti akibat kebijakan hilirisasi batu bara akan berdampak terhadap pelebaran defisit anggaran pada 2023," tegasnya.

Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan batas defisit dibawah 3 persen atau sebesar 2,84 persen setara 598,2 triliun rupiah. Target pada APBN 2023 berisiko meleset akibat pemberian insentif Perpu Cipta Kerja ke sektor batu bara. Kehilangan royalti yang seharusnya diterima pemerintah dari sektor batu bara akan menambah hingga 5,7 persen dari total defisit anggaran 2023.

Menurut Bhima, jika kebijakan berlaku dalam 20 tahun ke depan, diperkirakan negara merugi hingga 676,4 triliun rupiah. Potensi kerugian tersebut setara membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit.

Adapun pemerintah menegaskan tetap konsisten mendorong transisi. Di sektor energi, salah satu upayanya mendorong porsi kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi lebih besar daripada porsi pembangkit dari energi fosil.

Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN teranyar tahun 2021-2030, memberikan porsi lebih besar bagi pembangkit EBT, yakni 52 persen, dibandingkan pembangkit energi fosil yang hanya 48 persen, sehingga RUPTL ini disebut "RUPTL Hijau".

"Dalam RUPTL kita sama-sama paham kalau 52 persen dari pembangkit kita itu basisnya adalah EBT," ujar Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Dadan Kusdiana, dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor Ketenagalistrikan Tahun 2022 dan Capaian Tahun 2023, Selasa (31/1).


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top