Risiko Kekerasan Meningkat Jelang Pemilu Junta
Petugas sensus sedang mendata warga di Naypyidaw, Myanmar, pada 1 Oktober lalu. Rencananya sensus ini digelar karena junta hendak melaksanakan rencana pemilu walau waktunya masih belum ditentukan.
Foto: AFPBANGKOK - Empat tahun setelah merebut kekuasaan dalam kudeta yang menggulingkan pemerintahan sipil terpilih, para jenderal penguasa Myanmar akan melakukan upaya paling terpadu untuk mendapatkan legitimasi dengan mendorong diadakannya pemilihan umum lagi.
Dalam dua bulan terakhir, junta telah menguraikan rencana kepada negara-negara tetangga untuk menyelenggarakan pemilu pada tahun 2025, merilis hasil sensus yang dilakukan untuk menyiapkan daftar pemilih, dan mengumumkan di media pemerintah bahwa mereka sedang berupaya untuk memastikan stabilitas untuk pemungutan suara.
Secara keseluruhan, langkah-langkah ini merupakan deklarasi niat paling serius dari junta Myanmar untuk menyelenggarakan pemilu sejak menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, tetapi langkah-langkah ini diambil di tengah perang saudara yang sedang berlangsung, di mana militer terus menerus kehilangan wilayah di seluruh negeri.
Dengan banyaknya kekuatan yang menentang junta dan pemilu, ketegangan akan meningkat menjelang pemungutan suara, yang membawa risiko lebih banyak kekerasan karena kedua belah pihak berusaha untuk meningkatkan kendali mereka atas wilayah, menurut delapan orang, termasuk analis, pemberontak dan sumber diplomatik.
Tanggal pemilu sendiri belum diumumkan, tetapi dengan pemungutan suara hanya dilakukan di setengah wilayah negara, puluhan kelompok oposisi dilarang, dan hanya partai-partai promiliter yang telah diskriningterlebih dahulu, pemiluini telah dicemooh sebagai suatu sandiwara penipuan oleh para kritikus.
Junta militer hanya mampu melaksanakan sensus lapangan secara menyeluruh di 145 dari 330 kotapraja di negara itu, menurut laporan sensus yang diterbitkan pada Desember lalu. Para jenderal saat ini berencana untuk menyelenggarakan pemilu hanya di 160-170 kotapraja menjelang akhir tahun, menurut narasumber yang mengetahui pembahasan soal pemilu dari Ibu Kota Naypyidaw.
“Mereka ingin (pemilu) terus dilaksanakan," kata narasumber yang meminta untuk tidak disebutkan jati dirinya, seraya menambahkan bahwa junta akan berupaya “menstabilkan” daerah-daerah tersebut menjelang pemungutan suara.
Rencana Penolakan
Oposisi bersenjata, yang terdiri atas tentara etnis dan kelompok perlawanan baru yang dibentuk sejak kudeta, telah merebut sebagian besar wilayah dari junta, mengusirnya keluar dari daerah perbatasan dan semakin mengepung wilayah yang dikuasainya hingga dataran rendah tengah.
"Ini pasti akan meningkatkan konflik ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Ye Myo Hein, seorang analis Myanmar di Institut Perdamaian Amerika Serikat, saat menanggapi tentang pemilu mendatang.
Sementara itu Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintahan bawah tanah bayangan yang terdiri dari sisa-sisa anggota partai politik dari Liga Nasional untuk Demokrasi dan kelompok anti-junta lainnya, telah menyusun rencana 12 poin untuk menolak pemilu.
Dalam pertemuan Asean bulan ini, negara anggota dari blok regional menyampaikan kepada junta bahwa rencananya untuk menyelenggarakan pemilu bukanlah prioritas, melainkan mendesak junta untuk segera memulai dialog dan mengakhiri permusuhan. ST/I-1
Berita Trending
- 1 Incar Kemenangan Penting, MU Butuh Konsistensi
- 2 Thailand Ingin Kereta Cepat ke Tiongkok Beroperasi pada 2030
- 3 Kepercayaan Masyarakat Dapat Turun, 8 Koperasi Bermasalah Timbulkan Kerugian Besar Rp26 Triliun
- 4 Polresta Bukittinggi giatkan pengawasan objek wisata selama liburan
- 5 Cegah Kepunahan, Karantina Kepri Lepasliarkan 1.200 Burung ke Alam