Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Deskriminasi Sawit I Minyak Sawit Terapkan 700 Sertifikasi, tapi Nonsawit Hanya 30 Sertifikasi

RI Tuntut Keadilan Standar Minyak Nabati Nonsawit

Foto : istimewa

Berbagai macam Minyak Nabati

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah menuntut keadilan terkait sustainable vegetable oil dalam rangka menanggapi deskriminasi minyak sawit Indonesia oleh Uni Eropa (UE).

Penekanan standardisasi seharusnya diberlakukan menyeluruh untuk semua minyak nabati yang sama atau kompetitif, juga pendekatan lingkungan hidup yang lebih holistik.

"Masalah lingkungan bukan hanya deforestasi walau deforestasi juga penting.

Laju deforestasi di Indonesia sendiri turun secara signifikan salah satunya didukung oleh keberhasilan inpres moratorium," ujar Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar, dalam webinar #INAPalmoil Talkshow bertajuk "Strategic Partnership EU-Asean dan Implikasinya terhadap Industri Minyak Sawit" yang diselenggarakan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), beberapa waktu lalu.

World Resources Institute (WRI) melaporkan laju deforestasi di Indonesia terus turun, sementara negara-negara di Eropa dan Australia justru naik hingga 10 persen.

Tak hanya itu, Indonesia juga terus menjaga komitmennya dalam penurunan emisi yang saat ini mencapai 29 persen dari dari kondisi semula, dan akan ditingkatkan penurunannya hingga 41 persen dengan dukungan internasional.

"Dari laporan mengenai comparable study tersebut dapat terlihat sawit telah berkontribusi terhadap penurunan karbondioksida (CO2), sedangkan rapeseed dan minyak nabati lainnya tidak kontributif dalam pengurangan CO2," tegas Mahendra.

Lebih lanjut, Mahendra memaparkan sejak 1995, komoditas sawit telah menerapkan dan menaati hampir 700 jenis sertifikasi, sementara untuk minyak rapeseed, kedelai ataupun minyak matahari hanya 30 sertifikasi dalam periode sama.

Segala requirement yang telah ditaati melalui beragam sertifikasi tersebut tidak menyelesaikan diskriminasi terhadap sawit.

Untuk melawan diskriminasi komoditas sawit oleh UE, menurut Mahendra, pemerintah melalui Asean melakukan pendekatan holistik untuk membawa komoditas sawit dalam pembandingan minyak nabati yang keberlanjutan melalui studi berbasis ilmiah di Asean maupun negara-negara produsen lainnya.

Sementara, SDGs menjadi tolak ukur utama dalam mempromosikan pendekatan yang berimbang antara pembangunan ekonomi, kemajuan sosial dan lingkungan hidup.

Hingga saat ini, perundingan minyak nabati yang berkelanjutan terus digulirkan melalui Joint Working Group yang dibentuk setelah penandatanganan UEAsean Strategic Partnership pada desember lalu.

"Bargaining" Diperkuat

Pada kesempatan sama, Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menegaskan Ri harus menjadi leader di Asean, mengingat kepentingan negara-negara di Asia Tenggara sama.

"Kalau ingin (Asean) berunding dengan UE, RI harus menjadi leader sehingga harus memiliki nilai tawar (bargaining) di internal (Asean)," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Asep Asmara, mengatakan siap menggaungkan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk mempromosikan produk kelapa sawit di dunia internasional.

Menurut Asep, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia menjawab berbagai kritik dan isu-isu negatif yang dilayangkan dunia internasional terhadap produk kelapa sawit.

"Perpres Nomor 44 tahun 2020 tentang sertifikasi ISPO, itulah yang akan kita gaungkan.

Kami negara yang ingin maju dengan kelapa sawitnya, kelapa sawit menjadi tumpuan, banyak memberi penghidupan pada masy yang kami ingin maju," kata Asep.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail

Komentar

Komentar
()

Top