Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Transisi Energi I Miliarder Australia Percepat Ekspor Listrik Hijau ke Asia Tenggara

RI Harus Fokus Garap Potensi EBT Dalam Negeri Ketimbang Impor

Foto : ISTIMEWA

ESTHER SRI ASTUTI Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang - Jika sampai impor tenaga surya dilakukan, ini kebangetan. Karena Indonesia punya sumber energi tenaga surya yang melimpah.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Dua orang terkaya Australia berencana untuk memasok listrik ramah lingkungan ke Singapura dan Indonesia. Proyek ambisius itu ditandai dengan pembangunan ladang surya terbesar di dunia dan pemasangan kabel laut sepanjang 5.000 kilometer.

Rencana mengekspor listrik hijau melalui kabel laut dirintis oleh perusahaan Australia Sun Cable. Kini, dukungan finansial datang dari pengusaha tambang, Andrew Forrest, dan pengusaha software Australia, Mike Cannon-Brookes.

Kedua orang itu mengumumkan bakal menggabungkan modal sebesar 152 juta dollar AS untuk Sun Cable. Tidak jelas seberapa besar kontribusi atau keterlibatan kedua miliarder di dalam proyek yang ditaksir bakal menghabiskan investasi senilai 14,5 miliar dollar AS itu.

Sun Cable menargetkan akan mulai mengekspor listrik dari ladang surya raksasa di Northern Territory pada 2027 mendatang melalui kabel bawah laut sepanjang 5.000 kilometer ke Singapura dan Indonesia.

Dari jumlah yang diekspor tersebut, Indonesia diperkirakan akan mampu menyerap 15 persen kebutuhan energinya dari Sun Cable. Sementara Indonesia, September 2021 silam, memberi izin cepat bagi survei bawah laut karena dijanjikan akan mendapat jatah investasi senilai 2,5 miliar dollar AS.

"Visi Sun Cable adalah menambah kapabilitas Australia untuk menjadi pionir dan eksportir terbesar listrik hijau yang memungkinkan dekarbonisasi. Penambahan modal ini adalah langkah kritis bagi kelangsungan proyek," tulis Andrew Forrest, dalam keterangan persnya baru-baru ini.

Direktur Sun Cable, David Griffin, mengatakan suntikan kapital oleh kedua miliarder akan digunakan untuk membangun proyek pembangkit listrik tenaga surya di Northern Territory, terutama mendukung kemajuan pembangunan sejumlah aset dan fasilitas kunci.

"Kami ingin agar proyek ini bisa membantu memperkuat kapabilitas kawasan Indo-Pasifik untuk mencapai ambisi niremisi dan pertumbuhan ekonomi yang ditopang energi terbarukan," kata Griffin.

Rencana itu termasuk pengadaan lahan seluas 12.000 hektare untuk pembangunan pembangkit surya berkapasitas 20 gigawatt, beserta fasilitas penyimpanan energi sebesar 42 gigawatt/jam. Investasi raksasa itu dinilai akan menguntungkan seiring meningkatnya kebutuhan energi di Asia Tenggara.

Namun pemerintah RI sejauh ini belum mengindikasikan bakal membeli listrik dari Sun Cable. Izin survei yang dikeluarkan September silam hanya berlaku bagi pembangunan kabel bawah laut ke Sungapura melalui wilayah Indonesia. Dukungan pemerintah pun tidak didapat tanpa kompensasi. Sun Cable berjanji akan berinvestasi langsung senilai satu miliar dollar AS untuk perlengkapan dan jasa selama proses konstruksi, serta dana perawatan sebesar 1,5 miliar dollar AS sesudah kabel beroperasi.

Menanggapi rencana ekspor energi Australia itu, Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, menegaskan pemerintah sebaiknya fokus menggunakan sumber energi ramah lingkungan dalam negeri, ketimbang mengimpor energi listrik.

"Jangan sampai semangat menggenjot target energi baru terbarukan (EBT), pemerintah mengabaikan sumber energi ramah lingkungan dalam negeri" tegas Badiul.

Pemerintah, jelasnya, harus fokus saja menjalankan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 dengan mengoptimalkan PLTS Atap dan Terapung guna mendukung bauran energi hijau dan ramah lingkungan.

Apalagi sumber EBT di Indonesia berlimpah, bahkan hingga kini porsi EBT dalam bauran energi nasional baru sebesar 11,7 persen.

"Artinya perlu dioptimalkan, kenapa harus diambil dari luar? Itu langkah yang tidak masuk akal, mendatangkan dari luar lalu mengabaikan potensi dalam negeri. Lebih baik ajak mereka investasi di Indonesia sehingga tidak perlu menarik kabel bawah laut," pungkasnya.

Ironis dan Sulit Diterima

Sebelumnya, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan kalau impor PLTS itu dilakukan maka sangat ironi dan sulit diterima dengan akal sehat. Sebab, RI punya potensi energi surya yang melimpah. Sepanjang tahun matahari bersinar di seluruh wilayah Indonesia.

"Jika sampai impor tenaga surya dilakukan, ini kebangetan. Kenapa, karena Indonesia punya sumber energi tenaga surya yang melimpah, bahkan lebih besar dari Australia," kata Esther.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top