Revolusi Teknologi untuk Ungkap Misteri Arkeologi
Foto: istimewaTak banyak penemuan arkeologi yang mengguncang dalam beberapa dekade terakhir. Sepertinya pengetahuan manusia tentang masa lalunya akan diliputi kegelapan, sebab kesimpulan yang didapatkan dari studi ratusan tahun belum banyak menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan.
Bagaimana sebenarnya Borobudur dibangun? Bagaimana struktur masyarakat Majapahit sehingga bisa menjadi penguasa terbesar di Asia Tenggara dan menjelajah ke seantero dunia? Apa yang kita ketahui tentang masyarakat Mesir yang mampu membangun Piramida dengan matematika dan fisika yang sama sekali berbeda dengan ilmu saat ini? Dan pertanyaan fundamental, kenapa peradaban yang mampu membangun masyarakat dan arsitektural dahsyat itu pada akhirnya juga hancur.
Dan awal Februari lalu, sebuah project yang dimulai Pacunam, organisasi non profit dari Guatemala yang fokus pada penelitian Peradaban Maya, mengumumkan temuannya.
"Saya mengira kita tak akan banyak melihat penemuan penting di seluruh sains saat ini yang bisa mengubah disiplin. Menyenangkan rasanya mengetahui hal itu masih bisa terjadi," kata Thomas Garrison, arkeolog Ithaca College yang juga bekerja untuk National Geographic, seperti dilansir New York Times.
Ya, Garrison sedang memperbincangkan mengenai keberhasilan Teknologi LIDAR (Light Detection And Ranging) dalam menemukan sesuatu yang sangat mengguncang di tengah hutan lebat Meksiko. Apa yang ditemukan dengan Lidar digambarkan Chris Fisher, arkeolog dari Colorado State University akan mengubah buku temuan arkeologi setiap 2 tahun.
Chris adalah pakar yang mempresentasikan temuan baru Peradaban Maya dengan teknologi LIDAR itu dalam konferensi Asosiasi Ilmu Pengetahuan Tingkat Lanjut Amerika di Austin Texas awal Februari.
"Di mana pun Anda mengarahkan Lidar, Anda akan menemukan hal baru. Itu karena dengan metoda eskavasi tradisional sebelumnya kita baru mengerti sedikit sekali tentang arkeologi Amerika. Saat ini dengan Lidar setiap buku teks harus ditulis ulang, dan dua tahun dari sekarang harus ditulis ulang lagi," katanya seperti dikutip The Guardian.
Sementara Arkeolog Universitas Tulane AS, Francisco Estrada-Belli mengatakan Lidar adalah revolusi arkeologi sebagaimana Teleskop Hubble merevolusi astronomi.
"Lidar melihat area seluas yang bisa dilakukan arkeologi tradisional dalam 5-10 tahun hanya dengan 45 menit," katanya.(YK/R-1)
Kota Semegah New York
Peradaban Maya, sebelumnya dikira terdiri dari beberapa kerajaan kecil tak lebih besar dari daerah untuk menampung maksimal 50 ribu orang dan total 5 juta untuk seluruh kerajaan yang menopang apa yang disebut sebagai Peradaban Maya. Kini, dalam apa yang disebut sebagai 'terobosan besar' dalam arkeologi Maya, para periset telah mengindentifikasi 60 ribu rumah, istana, jalan raya dan jalan layang, dan berbagai fitur buatan manusia lainnya yang tersembunyi berabad-abad di bawah hutan Guatemala Utara.
60 ribu rumah, dengan perkiraan ada 4 orang yang tinggal di satu rumah berarti setidaknya ada 240 hingga 300 ribu penduduk hanya di satu kerajaan ini saja. Artinya estimasi 5 juta total populasi hanyalah sepertiga dari perkiraan yang dihasilkan Lidar, karena belum menghitung jumlah orang yang tinggal di dataran rendah, daerah rawa yang kita anggap tidak dapat dihuni.
Proyek ini memetakan lebih dari 2.100 kilometer persegi Cagar Biosfer Maya di wilayah Petén di Guatemala dan menghasilkan data LiDAR terbesar yang pernah ada untuk penelitian arkeologi. Selain ratusan struktur yang sebelumnya tidak diketahui, gambar LiDAR menunjukkan jalan raya yang menghubungkan pusat kota dan pertambangan. Sistem irigasi dan terasering komplek yang mendukung pertanian intensif yang mampu memberi makan pekerja yang secara dramatis mengubah bentuk lanskap.
Maya kuno tidak pernah menggunakan roda atau binatang untuk mengangkut beban. "Ini adalah peradaban yang benar-benar bisa menggeser gunung," kata Marcello Canuto, arkeolog Universitas Tulane dan National Geographic Explorer yang berpartisipasi dalam proyek ini.
Bagaimana dengan Majapahit?
Lidar adalah teknologi yang jauh lebih maju daripada radar. Radar menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi, sementara Lidar menggunakan laser yang ditembakkan ke suatu area. Hari ini Lidar bisa menembakkan 600 ribu laser dalam 1 detik sehingga kekuatannya bisa menembus hutan dan berlapis-lapis endapan tanah dan menunjukkan keseluruhan tekstur tempat ia dipantulkan dalam gambar 3 dimensi.
Lalu bagaimana dengan pemanfaatan Lidar di Indonesia? Lidar di Indonesia sudah umum digunakan untuk memetakan sumber daya tambang. Namun di arkeologi, tampaknya masih jauh dari pengaplikasiannya.
"Setahu saya Lidar belum digunakan untuk penelitian arkeologi. Ini lebih dikarenakan tidak terhubungnya pakar geografi kita, penginderaan jauh dengan para arkeolog, karena dari sisi biaya sebenarnya sudah terjangkau. Situs Majapahit dan Muara Jambi saya kira sangat cocok untuk dijadikan pilot project penggunaan Lidar di arkeologi Indonesia," kata Andi Putranto, dosen arkeologi klasik UGM.
Catrini Pratihari Kubontubuh, Executive Director Yayasan Arsari Djojohadikusumo, yayasan yang fokus pada penelitian Trowulan Majapahit, mengatakan sebelum diskusi mengenai penggunaan Lidar di Trowulan, ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab lebih dulu.
Rafles yang pada 1815 mengirimkan peneliti pertamanya ke Trowulan, secara aneh memilih tidak mengungkap semua yang ditemukannya di bukunya The History of Java. Para pendiri bangsa memakai banyak simbol Majapahit dari bendera hingga semboyan Bhinneka Tunggal Ika, juga tidak pernah secara serius dan besar-besaran mencari tahu bagaimana sesungguhnya masyarakat kita hidup di era Mahapahit.
"Maksud saya, adakah keinginan nasional untuk mengetahui siapa sebenarnya kita di masa lalu. Kalau iya, kita bisa gunakan Lidar dan segala teknologi terbaik. Intinya visi kita, visi negara dulu bagaimana," tandasnya.
Catrini mengaku sangat gembira jika ada usaha nasional untuk mengerahkan semua yang terbaik guna sungguh-sungguh meneliti masa lalu kita. Karena dengan itulah negara ini akan kembali menemukan bahan untuk menyusun masa depannya.
"Banyak penelitian Majapahit dalam 200 tahun terakhir yang telah gugur, dikoreksi, dan sebagainya. Lidar tentu akan sangat baik untuk memulai melihat Trowulan dengan sungguh-sungguh," katanya.
Dengan metoda eskavasi tradisional Trowulan sangat sulit untuk diungkap karena kepadatan penduduknya saat ini yang sangat tinggi. Teknologi Lidar akan menyelesaikan masalah itu, menembus jauh ke dalam tanah untuk men-CT Scan- masa Majapahit. Dan keuntungannya, Trowulan adalah daerah rawan bencana letusan Gunung Kelud yang artinya ada kemungkinan Kota Trowulan yang asli masih tertimbun dalam 3 lapis letusan dalam ratusan tahun terakhir.
"Saya percaya Trowulan jauh tertimbun di dalam. Kalau Lidar bisa menembus itu tentu sangat luar biasa," pungkas Catrini. YK/R-1
Penulis: Eko S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemerintah Konsisten Bangun Nusantara, Peluang Investasi di IKN Terus Dipromosikan
- 2 Kejati Selidiki Korupsi Operasional Gubernur
- 3 Presiden Prabowo Meminta TNI dan Polri Hindarkan Indonesia jadi Negara yang Gagal
- 4 Lestari Moerdijat: Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Inklusif Harus Segera Diwujudkan
- 5 Pertamina Siapkan Akses Titik Pangkalan Resmi Pembelian LPG 3 Kg Terdekat
Berita Terkini
- Dubes Tolchenov Sebut Indonesia Mitra Kunci bagi Russia di Asia Pasifik
- Ternyata Mata Juga Bisa Terbakar Akibat Paparan Sinar UV
- Bertemu Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Bamsoet Dorong Pemenuhan Perumahan Rakyat
- Kemenpar Tekankan Penguatan Materi dalam RUU tentang Kepariwisataan
- Indeks Nikkei Anjlok Lebih dari 1.000 Poin