Relaksasi Defisit Pacu Perekonomian
Burhanuddin Abdullah
Pelonggaran defisit APBN dibutuhkan agar pemerintah leluasa memberikan stimulus ke perekonomian, terutama sektor riil asalkan pengelolaannya hati-hati dan terukur.
JAKARTA - Pemerintah dan DPR disarankan agar mengubah ketentuan defisit maksimal APBN dengan penghitungan secara rata-rata dalam satu tahun pemerintahan, bukan setiap tahun fiskal berjalan. Perubahan itu dimaksudkan agar pengelolaan defisit APBN lebih fleksibel, dengan memperhatikan kebutuhan ekspansi belanja pemerintah, namun tetap menjaga kehati-hatian pengelolaan fiskal.
"Jadi kalau pemerintah memerlukan anggaran untuk stimulus dalam suatu waktu, bisa dihidupkan stimulusnya dari APBN. Jadi defisit APBN dihitung rata-rata setiap satu kali pemerintahan saja," ujar Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah saat peluncuran buku Menyimak Turbulensi Ekonomi : Pengalaman Empiris Indonesia karya Anggito Abimanyu di Jakarta, awal pekan ini.
Adapun saat ini, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamatkan pemerintah mengelola defisit APBN agar tidak melebihi tiga persen setiap tahunnya. Ketentuan dalam UU tersebut mengacu pada standar Maastricht Treaty yang berlaku di Eropa.
Burhanuddin menyarankan pemerintah dan DPR mengkaji kembali bentuk adaptasi dari Maastricht Treaty itu. Menurut Mantan Gubernur BI yang juga Mantan Menko Perekonomian itu, Masstricht Treaty itu hanya sekedar anjuran dan tidak perlu diberlakukan sebagai Undang-Undang.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Muchamad Ismail
Komentar
()Muat lainnya