Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengeloaan Anggaran | Saat Ini, Ketentuan Defisit APBN dalam UU Dipatok 3%, seperti di Eropa

Relaksasi Defisit Pacu Perekonomian

Foto : ISTIMEWA

Burhanuddin Abdullah

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah dan DPR disarankan agar mengubah ketentuan defisit maksimal APBN dengan penghitungan secara rata-rata dalam satu tahun pemerintahan, bukan setiap tahun fiskal berjalan. Perubahan itu dimaksudkan agar pengelolaan defisit APBN lebih fleksibel, dengan memperhatikan kebutuhan ekspansi belanja pemerintah, namun tetap menjaga kehati-hatian pengelolaan fiskal.

"Jadi kalau pemerintah memerlukan anggaran untuk stimulus dalam suatu waktu, bisa dihidupkan stimulusnya dari APBN. Jadi defisit APBN dihitung rata-rata setiap satu kali pemerintahan saja," ujar Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah saat peluncuran buku Menyimak Turbulensi Ekonomi : Pengalaman Empiris Indonesia karya Anggito Abimanyu di Jakarta, awal pekan ini.

Adapun saat ini, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamatkan pemerintah mengelola defisit APBN agar tidak melebihi tiga persen setiap tahunnya. Ketentuan dalam UU tersebut mengacu pada standar Maastricht Treaty yang berlaku di Eropa.

Burhanuddin menyarankan pemerintah dan DPR mengkaji kembali bentuk adaptasi dari Maastricht Treaty itu. Menurut Mantan Gubernur BI yang juga Mantan Menko Perekonomian itu, Masstricht Treaty itu hanya sekedar anjuran dan tidak perlu diberlakukan sebagai Undang-Undang.

"Jadi ketentuan itu sebenarnya malah membatasi. Itu bisa dipikirkan untuk diubah," ujar dia.

Pelonggaran defisit APBN, kata dia, dibutuhkan agar pemerintah leluasa memberikan stimulus ke perekonomian, terutama sektor riil. Pelonggaran itu bisa dilakukan, ujar Burhanuddin, asalkan pemerintah benar-benar bisa menerapkan pengelolaan fiskal yang hati-hati dan terukur.

"Tapi ada catatan, pemerintah harus hati-hati untuk kelola fiskalnya," ujar dia.

Belanja Sosial

Sementara itu pada kesempatan sama, ekonom senior Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Anggito Abimanyu memperingatkan setiap kebijakan ekonomi yang bersifat sangat populis bisa saja diterapkan pemerintah. Namun, hal itu perlu dibarengi dengan pengelolaan fiskal yang hati-hati dan terukur agar tidak menimbulkan guncangan bagi perekonomian.

Anggito menyoroti kenaikan belanja sosial yang dikucurkan pemerintah melalui APBN dalam beberapa tahun terakhir. Dia mencontohkan kebijakan pemerintah yang tetap mempertahankan harga bahan bakar minyak maupun listrik di tengah kenaikan harga minyak dunia.

Anggito mengatakan dampak dari kebijakan ini harus diantisipasi agar tidak merusak tata kelola fiskal. "Kebijakan fiskal itu ada prinsipnya jangan sampai kehilangan. Misalnya, subsidi energi melalui Pertamina, PLN," kata Anggito.

Mantan Kepala Ekonom BRI itu juga menyatakan jika pemerintah memberikan penugasan kepada BUMN untuk program sosial, seperti halnya subsidi, pemerintah juga harus mengawasi kesehatan permodalan BUMN yang ditugaskan tersebut. "Perlu ada penyesuaian, dan mengantisipasi beban dan risiko yang ditanggung BUMN itu," ujar dia.

Anggito menjelaskan, saat Sri Mulyani Indrawati pertama kali menjadi Menteri Keuangan Indonesia pada 2005, reformasi APBN telah dijalankan dengan baik. Saat ini, reformasi di instrumen fiskal maupun kelembagaannya perlu terus dilakukan. Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top