Program Pemerintah Belum Optimal Tangani 'Stunting'
Foto: Sumber: Kementerian Kesehatan – Litbang KJ/and» Pemerintah targetkan penurunan prevalensi stunting turun jadi 14 persen pada 2024.
» Perlu melakukan optimalisasi keanekaragaman pangan lokal yang kaya akan nutrisi.
JAKARTA - Program penanganan masalah stunting di Indonesia dinilai tidak akan optimal hanya dengan program yang dijalankan secara simultan oleh pemerintah dengan penyelesaian angka kemiskinan ekstrem. Stunting baru bisa diselesaikan dengan menggerakkan seluruh elemen masyarakat.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Sukamdi, mengatakan bahwa penyelesaian stunting di Indonesia tidak bisa didekati hanya dengan program, namun perlu menjadi sebuah gerakan seluruh elemen masyarakat. Sebab, masalah stunting pada anak tidak hanya terkait dengan kemiskinan dan kurang gizi, tapi juga masalah kultur atau kebiasaan hidup orang tua.
Temuan di lapangan menunjukkan salah satu masalah utama penyebab stunting atau kondisi tinggi badan anak lebih pendek daripada standar usianya akibat kekurangan gizi dalam jangka panjang adalah kebiasan para orang tua yang abai terhadap pentingnya air bersih. Meskipun sudah dilakukan pendampingan ke orang tua dalam bentuk program penambahan gizi anaknya, stunting tidak akan selesai karena orang tuanya memiliki budaya hidup sehari-hari yang buruk.
"Di daerah tertentu, solusi yang bisa ditawarkan adalah melibatkan pesantren untuk menyadarkan pentingnya air bersih dan juga makanan sesuai standar. Kenapa pesantren, karena warga lebih patuh pada pemimpin informal," kata Sukamdi.
Bahkan dalam beberapa kasus, keluarga tidak terima anaknya disebut stunting meski ukuran objektif seperti berat dan tinggi badan menunjukkan si anak stunting. Penolakan dari orang tua persis dengan penolakan masyarakat saat pandemi Covid-19.
"Kalau situasinya begini, tidak bisa hanya program. Harus jadi gerakan. Semua pemimpin masyarakat harus terlibat, terutama tokoh agama. Begitu juga kader posyandu harus benar-benar jadi ujung tombak agar masyarakat secara kultural sadar akan pentingnya penambahan gizi dan mengontrol sejak ibu hamil," papar Sukamdi.
Dalam keterangan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mengatakan program penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem akan dilakukan secara simultan karena kedua masalah tersebut saling beririsan.
"Penanganan stunting dan penghapusan kemiskinan ekstrem akan dilakukan berkelanjutan, selama masih ada ibu hamil, selama masih ada bayi, masih ada anak balita, maka upaya pencegahan dan penanganan stunting mutlak dilakukan secara terus-menerus," kata Muhadjir.
Menurut Menko, prevalensi stunting di Indonesia saat ini berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) adalah 21,6 persen. Sebab itu, pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting diharapkan bisa turun menjadi 14 persen pada tahun 2024 mendatang.
Pemerintah, jelasnya, saat ini terus melakukan berbagai upaya strategis dalam rangka percepatan penurunan stunting. Salah satunya melalui koordinasi dengan kepala-kepala daerah di sejumlah wilayah di Tanah Air guna mengumpulkan data-data dan mengetahui berbagai permasalahan-permasalahan yang terjadi di daerah terkait kendala dalam penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem.
"Kami berharap kepala daerah dapat mengetahui persebaran kasus stunting dan keluarga miskin ekstrem di masing-masing desa sehingga program-program yang dibuat lebih tepat sasaran," kata Muhadjir.
Tekan Angka Pengangguran
Diminta terpisah, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, mengatakan untuk menekan angka stunting harus didahului dengan mengurangi angka kemiskinan. Hal itu bisa dilakukan dengan membangun ekonomi kerakyatan melalui penciptaan lapangan kerja.
"Angka pengangguran itu harus ditekan melalui penyiapan lapangan kerja bagi warga negara. Itu untuk mencegah bertambahnya angka kemiskinan. Stunting terjadi salah satunya karena kemiskinan," tegasnya.
Selain itu, Awan menilai perlunya optimalisasi keanekaragaman pangan lokal yang kaya akan nutrisi. Hal itu karena selain aspek ekonomi, stunting juga menyangkut budaya, tradisi, dan kebiasaan konsumsi pangan lokal masyarakat.
"Kearifan lokal yang dilakukan komunitas dan gerakan masyarakat dapat menjadi jaring pengaman sosial guna mencegah dan mengatasi stunting," ungkapnya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Hasil Survei SMRC Tunjukkan Elektabilitas Pramono-Rano Karno Melejit dan Sudah Menyalip RK-Suswono
- 2 Cagub DKI Pramono Targetkan Raih Suara di Atas 50 Persen di Jaksel saat Pilkada
- 3 Pelaku Pembobol Ruang Guru SMKN 12 Jakut Diburu Polisi
- 4 Panglima TNI Perintahkan Prajurit Berantas Judi “Online”
- 5 Tim Pemenangan Cagub dan Cawagub RIDO Akui Ada Persaingan Ketat di Jakut dan Jakbar