Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Gizi Buruk

Prevalensi "Stunting" Ditargetkan Turun 3 Persen Per Tahun

Foto : ISTIMEWA

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy - Upaya menekan angka kekerdilan itu untuk mencetak generasi emas Indonesia Tahun 2045

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah menargetkan prevalensi kekerdilan atau stunting harus turun sebesar tiga persen per tahun, sehingga pada 2024 mendatang tinggal 14 persen. Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mengatakan upaya menekan angka kekerdilan itu untuk mencetak generasi emas Indonesia Tahun 2045.

"Prevalensi stunting saat ini sebesar 24,4 persen, sementara Presiden menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen pada 2024. Untuk mengejar target tersebut maka prevalensi stunting harus turun tiga persen per tahun," kata Muhadjir dalam "National Showcase SMK Bisa 2022" secara daring di Jakarta, Jumat (17/6).

Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita.

"Kenapa program penurunan stunting ini penting? Karena periode 1.000 hari pertama kehidupan merupakan periode emas guna memastikan perjalanan generasi penerus Indonesia," katanya.

Untuk menekan angka kekerdilan maka perlu penguatan sosialisasi dan edukasi bagi para keluarga, terutama bagi remaja putri, yang nantinya akan menjadi calon ibu.

"Perlu diperhatikan kondisi remaja putri yang nantinya akan menjadi calon ibu. Perlu mengonsumsi makanan bergizi seimbang guna menjaga kesehatan tubuh dan juga menghindari anemia. Hal ini sangat penting sebagai upaya preventif mencegah agar bayi yang dilahirkan tidak stunting," katanya.

Permasalahan itu, katanya, harus ditangani secara menyeluruh mengingat Indonesia akan mencapai bonus demografi yang perlu dimanfaatkan dengan baik. "Jika persoalan kekerdilan atau stunting tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, masa bonus demografi akan terlewat dan Indonesia akan sulit untuk mencapai generasi emas 2045," katanya.

Dalam menangani permasalahan itu, perlu peran aktif dari semua pihak agar dapat terwujud sesuai dengan target yang diharapkan.

"Yang juga tidak kalah penting adalah edukasi bagi calon-calon pengantin agar dapat mempersiapkan sejumlah hal, antara lain kesehatan reproduksi, kesehatan keluarga, dan cara hidup berkeluarga serta ekonomi keluarga," katanya.

Harus Transparan

Pengamat stunting dari Universitas Brawijaya, Malang, Ratnaningsih Damayanti, mengatakan agar efektif, penyelenggaraan pelayanan dalam pencegahan dan penanggulangan stunting harus transparan. Selain itu, harus terbuka dan mudah dipahami, dapat dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-undangan, memperhatikan standar dan efektivitas pelayanan, serta mendorong peran serta masyarakat luas.

"Untuk itu, pelayanan posyandu dengan melibatkan Tim Penggerak PKK sangat berperan penting dalam penerapan pelayanan kesehatan, khususnya di kelurahan. Pelayanan ini harus diberikan kepada masyarakat tanpa adanya diskriminasi," ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan sangat penting untuk menurunkan angka stunting karena dasar untuk meningkatkan kesejahteraan harus dimulai sejak awal kehidupan.

Dengan anak yang lebih sehat, proses pendidikan akan lebih baik dan bisa meningkatkan potensi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

"Saya rasa dengan waktu dua tahun efektif, cukup sulit untuk menurunkan angka stunting ke 14 persen dari 24 persen," tegasnya.

Bukan hanya anggaran kesehatan dan kesejahteraan yang harus ditambah, tetapi juga ketepatan program menjadi pekerjaan rumah juga bagi pemerintah.

"Program keluarga harapan bisa menjadi program andalan, namun memang jumlahnya harus diperbanyak dan diperluas targetnya," kata Nailul.

Peneliti Ekonomi Mubyarto Institute, Awan Santosa, menegaskan persoalan stunting salah satu masalah fundamental bangsa. Oleh karena itu, penyelesaiannya mesti melibatkan berbagai pihak melalui gerakan bersama berskala lokal sampai dengan nasional.

"Untuk menyelesaikan masalah ini perlu melibatkan baik formal maupun informal leader di tengah masyarakat," pungkas Awan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top