Prabowo: Perdagangan di Asia Pasifik Harus Terbuka, Teratur, dan Adil
Foto: Sumber: IMF» Sering kali dalam perdagangan bebas menguntungkan produsen, namun tidak menguntungkan bagi konsumen atau sebaliknya.
JAKARTA- Presiden RI, Prabowo Subianto, berkomitmen mendukung perdagangan antarnegara yang terbuka, teratur, dan adil di kawasan Asia Pasifik. Hal itu karena Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di kawasan Asia Pasifik terus berperan aktif memastikan kesetaraan dalam perdagangan global.
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Prabowo dalam Leaders Retreat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) 2024 yang digelar di Lima, Peru, Sabtu (16/11), waktu setempat.
“Saya kira kesempatan yang baik APEC, kita meneruskan suatu jaringan, network antara pemimpin-pemimpin di Pasifik. Kita bahas banyak masalah, di mana kita menjaga perdagangan yang baik, yang terbuka, tapi adil. Saya kira itu, kesempatan yang baik,” kata Prabowo melalui Sekretariat Presiden di Jakarta, Minggu (17/11).
Dalam KTT APEC kali ini, Presiden Prabowo mengadakan sejumlah pertemuan bilateral dengan pemimpin negara lain, termasuk membahas langkah-langkah untuk memperkuat hubungan dagang, meningkatkan investasi, dan menjajaki kerja sama baru yang saling menguntungkan.
Indonesia juga berkesempatan memperjuangkan perdagangan inklusif yang bermanfaat, tidak hanya bagi negara-negara besar, tetapi juga ekonomi kecil dan berkembang di kawasan Asia-Pasifik.
Semakin Mencolok
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan pernyataan Presiden Prabowo sebagai cerminan kepedulian Indonesia terhadap tantangan global terutama mewujudkan perdagangan yang inklusif dan merata.
Menurut Achmad, Prabowo dan Indonesia menegaskan posisinya yaitu ingin memastikan bahwa kebijakan perdagangan global tidak hanya menguntungkan negara maju, tetapi juga memberikan ruang bagi negara berkembang dan kecil.
“Hal ini relevan mengingat ketimpangan dalam perdagangan global sering menjadi isu yang menghambat kemajuan ekonomi negara-negara kecil. Namun, sebenarnya pernyataan ini bukanlah hal baru. Saat Presidensi G20 di Indonesia pada 2022, pesan serupa telah disampaikan, tetapi dunia justru menghadapi pelebaran konflik geopolitik dan ketidakadilan yang semakin mencolok,” papar Achmad.
Konflik Russia-Ukraina saat itu menjadi sorotan utama, dan kini tragedi Gaza memperlihatkan semakin parahnya krisis kemanusiaan global.
Indonesia, sebagai salah satu ekonomi terbesar di kawasan Asia-Pasifik, memiliki peran strategis untuk menjadi teladan dan pelopor dalam menciptakan sistem dunia yang lebih adil, bukan hanya di kawasan ini, tetapi di seluruh pelosok dunia.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar perdagangan dunia terkonsentrasi di tangan negara maju, sedangkan negara berkembang hanya mendapatkan sedikit manfaat. Ketimpangan itu menciptakan siklus ketidakadilan yang sulit diatasi tanpa reformasi besar.
Di sisi lain, tantangan geopolitik seperti konflik Russia-Ukraina dan tragedi Gaza menunjukkan bahwa sistem dunia saat ini rentan terhadap ketidakstabilan. Indonesia dengan prinsip "bebas aktif" memiliki legitimasi untuk memainkan peran mediator dalam menyelesaikan konflik global secara damai.
“Maka, keberhasilan Indonesia dalam menyuarakan perdagangan yang adil di APEC harus diikuti dengan konsistensi dalam forum internasional lainnya, seperti G20, Asean, dan PBB. Dengan menjaga konsistensi ini, Indonesia dapat memastikan bahwa agenda keadilan perdagangan tetap menjadi prioritas utama,” kata Achmad Nur Hidayat.
Selain itu, menurut Achmad, kerja sama dengan negara-negara Asean, Tiongkok, dan India dapat menciptakan pasar alternatif yang lebih inklusif. Indonesia juga harus memanfaatkan revolusi industri 4.0 untuk meningkatkan efisiensi produksi dan memperluas akses pasar internasional.
Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko, mengatakan perdagangan bebas secara teori ekonomi akan meningkatkan total kesejahteraan suatu negara, namun belum tentu adil.
“Seringkali dalam perdagangan bebas menguntungkan produsen, namun tidak menguntungkan bagi konsumen atau sebaliknya. Demikian juga dalam perdagangan bebas seringkali suatu negara hanya menjadi konsumen saja, sehingga tidak meningkatkan PDB (produk domestik bruto) suatu negara,”ungkap Suhartoko.
Untuk melakukan perdagangan bebas yang adil, terang dia, perlu masa transisi untuk komoditas-komoditas tertentu mempersiapkan diri dalam bersaing dengan komoditas sejenis.
“Makanya untuk meningkatkan nilai ekspor dilakukan hilirisasi yang meningkatkan nilai tambah dan menyerap tenaga kerja. Ini juga supaya kita bersaing, tidak hanya menjadi sasaran produk impor,”tandas Suhartoko.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Irwan Hidayat : Sumpah Dokter Jadi Inspirasi Kembangkan Sido Muncul
- 3 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 4 Jerman Percaya Diri Atasi Bosnia-Herzegovina
- 5 Disbun Kaltim Fasilitasi Alih Fungsi Lahan Tambang Menjadi Perkebunan
Berita Terkini
- Biden Izinkan Ukraina Gunakan Rudal Jarak Jauh untuk Menyerang Wilayah Rusia
- Ini Solusi yang Diajukan Tiga Cagub DKI untuk Kurangi Polusi di Jakarta
- Donald Trump Calonkan Pengusaha Chris Wright Sebagai Menteri Energi AS
- Ternyata Ini Kendalanya, 12 WNI Korban TPPO Masih Tertahan di Wilayah Konflik Myanmar
- Tiga Cawagub DKI Ini Tawarkan Kebijakan untuk Atasi Banjir Jakarta