Kamis, 06 Feb 2025, 15:30 WIB

PP Kesehatan Baru, Alasan Aturan Pengendalian Tembakau Harus Diperkuat di Era Prabowo

Terdapat sejumlah ketentuan pengendalian tembakau terbaru dalam PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Kesehatan.

Foto: The Conversatin/Zef Art/ Shutterstock

Rizky Argama, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Di penghujung pemerintahannya, Joko “Jokowi” Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai aturan pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan.

PP No. 28 Tahun 2024 secara resmi menggantikan 31 peraturan pelaksana lain pada sektor kesehatan. Salah satu bagian yang perlu disoroti dalam PP Kesehatan terbaru adalah soal ketentuan pengendalian tembakau.

Pasalnya, terdapat sejumlah ketentuan anyar mengenai pengendalian tembakau, dari larangan penjualan rokok eceran per batang hingga larangan produk tembakau mensponsori kegiatan yang diliput media.

Kehadiran regulasi PP Kesehatan terbaru mungkin bisa menjadi angin segar dalam upaya mengurangi angka perokok di Indonesia. Namun, tugas berat untuk lebih memperkuat aturan pengendalian tembakau tetap menjadi PR lanjutan bagi pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto.

Menelisik isi PP Kesehatan baru

Aturan seputar pengendalian tembakau pada PP Kesehatan tercantum dalam pasal 429-463 tentang pengamanan zat adiktif. Ketentuan ini mencabut sekaligus menggantikan PP 109/2012 tentang pengamanan produk tembakau yang mengandung zat adiktif bagi kesehatan.

Terdapat setidaknya empat ketentuan baru dalam PP No. 28 Tahun 2024 terkait pengendalian tembakau, di antaranya: (1) larangan penjualan rokok secara eceran satuan per batang; (2) ketentuan tentang rokok elektronik; (3) ketentuan tentang iklan produk tembakau di media internet; dan (4) larangan produk tembakau menjadi sponsor kegiatan yang diliput media.

Selain melarang penjualan rokok per batang atau  ketengan, PP Kesehatan terbaru juga melarang penjualan rokok melalui mesin layan diri (vending machine), aplikasi belanja elektronik (e-commerce), dan media sosial.

Batas usia legal konsumen rokok juga ditingkatkan, dari 18 menjadi 21 tahun. Sederet perubahan ini ditujukan untuk mengurangi akses rokok bagi anak dan remaja.

Kendati terlambat dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Australia dan juga negara ASEAN lainnya, Indonesia melalui PP Kesehatan baru akhirnya memiliki aturan soal rokok elektronik, baik yang mengandung tembakau maupun nontembakau dengan kandungan nikotin atau bentuk lainnya.

Secara umum, aturan soal rokok elektronik tak berbeda dengan rokok konvensional, terutama dalam hal pembatasan impor, pembatasan iklan, dan kewajiban pencantuman peringatan kesehatan.

Sayangnya, sederet peraturan tersebut masih tertinggal dibandingkan sejumlah negara ASEAN lainnya. Singapura, Brunei, Kamboja, Laos, dan Thailand telah melarang impor, penjualan, dan penggunaan rokok elektronik di negara mereka. Sementara di Malaysia, beberapa negara bagian sudah mulai melarang penjualannya.

Dalam hal ini, Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Myanmar yang belum memiliki regulasi rokok elektronik sama sekali.

Pelarangan setengah hati

Ketentuan mengenai iklan rokok tak banyak berubah dalam PP Kesehatan terbaru. Iklan rokok masih diperbolehkan tayang dengan batasan durasi dan waktu tertentu (untuk televisi dan radio) maupun ruang tertentu (untuk media cetak dan media luar ruang atau reklame).

Satu hal yang bisa diapresiasi adalah adanya larangan iklan di media sosial. Sayangnya, meski sama-sama berbasis digital, PP Kesehatan terbaru tidak melarang iklan rokok pada situs web dan aplikasi e-commerce.

Padahal Generasi Z dan Alfa memiliki keterikatan lebih besar terhadap media digital dibandingkan dengan televisi dan radio. Keberadaan iklan di internet justru dapat meningkatkan keterpaparan mereka terhadap produk rokok.

Tak jelas apa pertimbangan pemerintah dalam menerapkan larangan iklan rokok sebatas pada media sosial, tetapi tidak pada platform digital lainnya. Dalam hal ini, Indonesia amat tertinggal dibandingkan semua negara ASEAN yang telah menerapkan total ban, yakni larangan penuh terhadap iklan rokok, baik di media cetak, televisi, radio, film, gim, maupun seluruh platform digital berbasis internet.

Penegakan hukum tantangan sesungguhnya

Meski begitu, jika dibandingkan PP 109/2012, PP Kesehatan terbaru menunjukkan kemajuan besar dalam regulasi pengendalian tembakau. Sejumlah aturan dalam PP Kesehatan terbaru memberikan pukulan telak bagi industri rokok yang kerap mensponsori acara musik dan kompetisi olahraga.

Kini, perusahaan rokok tak lagi boleh menampilkan logo dan nama produknya dalam kegiatan yang mereka sponsori. Produk rokok juga dilarang mensponsori kegiatan yang diliput oleh media.

Pemerintah agaknya belajar dari kasus audisi bulutangkis PB Djarum yang sempat menuai kontroversi sehingga menelurkan aturan yang lebih berpihak terhadap perlindungan anak dan kesehatan publik secara umum.

Ketentuan serupa berlaku pula pada praktik tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Perusahaan rokok dapat memberikan bantuan CSR dengan ketentuan tidak menggunakan merek dagang dan logo produk, tidak diliput dan dipublikasikan oleh media serta tidak mengikutsertakan individu di bawah usia 21 tahun.

Kendati terdapat kemajuan dalam regulasi pengendalian tembakau, konsistensi penegakan hukum merupakan tantangan sesungguhnya. Pemerintah perlu memikirkan mekanisme pengawasan sederet aturan tersebut di lapangan, termasuk memastikan ketersediaan petugas dan biaya yang dibutuhkan untuk menegakkan aturan.

Soalnya, inkonsistensi antara aturan dengan penegakan hukum sudah mulai terlihat, misalnya, dalam penyelenggaraan sebuah konser musik tahunan di Jakarta pada akhir September lalu.

Logo dan citra gambar produk rokok masih muncul dalam acara yang diliput oleh media tersebut, padahal regulasi PP Kesehatan terbaru disahkan pada 26 Juli 2024.

UU Pengendalian Tembakau adalah kunci

Lemahnya penegakan hukum terkait pengendalian tembakau tidak lepas dari aturan yang memayunginya, yaitu peraturan pemerintah. PP Kesehatan hanya mencantumkan sanksi administratif atas berbagai bentuk pelanggaran.

Sementara, sanksi pidana dalam aturan hukum Indonesia hanya dapat dicantumkan dalam undang-undang dan peraturan daerah.

Dalam undang-undang sejauh ini, aturan mengenai pengendalian tembakau hanya tertera dalam empat pasal dalam UU 17/2023 tentang Kesehatan. Isinya secara umum mengatur perihal jenis produk tembakau dan rokok elektronik, serta kawasan tanpa rokok.

Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah Prabowo segera merancang UU khusus Pengendalian Tembakau, berikut urgensinya:

1. Bisa berikan sanksi pidana

Ketika menggunakan undang-undang, akan ada lebih banyak pilihan jenis sanksi atas pelanggaran aturan pengendalian tembakau.

Melalui UU Pengendalian Tembakau, sanksi pidana misalnya, dapat dikenakan terhadap industri rokok yang melanggar larangan iklan rokok, batasan jumlah nikotin, atau yang menggunakan kata-kata menyesatkan seperti light, mild, low tar, dan sebagainya.

Saat ini, UU Kesehatan hanya memberikan ancaman pidana bagi pelanggar ketentuan peringatan kesehatan bergambar maupun aturan kawasan tanpa rokok. Adapun PP Kesehatan hanya memberikan ancaman sanksi administratif.

2. Perkuat posisi tawar pemerintah

UU Pengendalian Tembakau nantinya juga perlu melarang industri tembakau untuk terlibat atau menjalin relasi dengan pihak pemerintah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah memeloporinya melalui Peraturan Menteri Kesehatan 50/2016 tentang pedoman penanganan benturan kepentingan dengan industri tembakau di lingkungan Kemenkes.

Sayangnya, karena berupa pedoman internal, peraturan ini hanya berlaku terbatas. Penanganan pelanggarannya pun hanya dilakukan pada lingkup kementerian.

Padahal intervensi dan benturan kepentingan industri tembakau terhadap pembentukan kebijakan berpeluang terjadi di semua kementerian dan lembaga lain, bahkan hingga level Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada proses pembentukan undang-undang.

Ketentuan pidana dan larangan atas intervensi industri tembakau sebenarnya sudah diamanatkan oleh Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau. Meskipun Indonesia masih menjadi satu-satunya negara Asia Pasifik yang belum mengaksesi konvensi tersebut, kebijakan untuk menekan jumlah konsumsi tembakau harus semaksimal mungkin diupayakan melalui instrumen legislasi nasional.

3. Selamatkan nyawa jutaan orang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan lebih dari 225.000 penduduk Indonesia meninggal akibat kebiasaan merokok atau penyakit yang berkaitan dengan tembakau. Sementara itu, Survei Kesehatan Indonesia 2023 melaporkan bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya berusia 10-18 tahun.

Statistik tersebut menunjukkan tingginya konsumsi tembakau dan ancamannya yang mematikan bagi generasi produktif Indonesia di masa mendatang. Karena itu, UU Pengendalian Tembakau perlu segera disahkan.

Namun, jikapun UU Pengendalian Tembakau disahkan, berbagai aturan ketat dengan sanksi berat tersebut tak akan bermakna tanpa konsistensi pemerintah dalam menegakkan hukum.

Pemerintah juga perlu menggencarkan upaya pencegahan, seperti memasukkan materi bahaya rokok ke dalam kurikulum sekolah umum dan pesantren, serta konsisten menaikkan cukai rokok setiap tahun dengan angka yang signifikan.

Jadi, meskipun regulasi baru pengendalian tembakau pada PP Kesehatan patut disyukuri, kita tetap harus terus mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik dengan aturan pengendalian tembakau yang lebih kuat.

Masyarakat sipil, akademisi, dan media saat ini perlu bahu-membahu mendesak pemerintah Prabowo untuk meningkatkan kualitas kesehatan manusia Indonesia melalui instrumen regulasi.The Conversation

Rizky Argama, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: