Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 31 Mei 2019, 00:04 WIB

Perlu Lebih Fokus pada Pelunasan Utang

Foto: Sumber: Bank Indonesia – Litbang KJ/and - KORAN

JAKARTA - Sejumlah kalangan mengingatkan agar pemerintah berupaya keras mengerem nafsu berutang, mengingat jumlah utang yang terus membengkak setiap tahun, hingga mencapai hampir 4.600 triliun rupiah saat ini. Untuk itu, pemerintah harus menggeser narasi dari fokus pada pengelolaan utang menjadi prioritas pada pelunasan utang.

Sebab, meskipun pemerintah selalu mengeklaim rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih dalam batas aman, bahkan lebih rendah dari negara-negara maju, namun ada hal mendasar yang sangat membedakan kondisi Indonesia dan negara penguasa ekonomi dunia.

Peneliti Perkumpulan Prakarsa, Irvan Tengku Harja, mengatakan bahwa utang negara maju dibarengi dengan kapasitas besar mereka sebagai kreditur dunia. Utang besar namun piutang juga tidak kalah besar.

Piutang besar mereka adalah bagian dari strategi menguasai pasar negara-negara debitur seperti yang dilakukan Tiongkok saat ini dengan memberi pinjaman besar-besaran ke negara Afrika dan Asia Selatan.

Negara maju seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang yang utangnya tergolong sangat besar juga menguasai teknologi yang membuat negara lain bergantung kepada mereka. Neraca perdagangan mereka secara umum juga surplus.

"Sedangkan Indonesia tidak memiliki itu semua. Utang besar, namun neraca dagang selalu defisit. Ini jelas berbahaya karena tinggal tunggu waktu kita tidak bisa bayar utang, khususnya utang luar negeri, karena tidak punya devisa," kata Tengku, ketika dihubungi, Kamis (30/5).

Maka, menurut dia, logika semestinya adalah bagaimana pemerintah Indonesia bisa melunasi utang, yakni dengan menjadikan setiap sen utang mampu berkontribusi terhadap pelunasan utang. Jangan sampai malah utang dalam valuta asing, tapi digunakan untuk produksi yang hanya menghasilkan rupiah.

"Yang paling penting, selain memacu kegiatan berorientasi ekspor juga substitusi impor sehingga kebutuhan dollar untuk impor terus berkurang dan pendapatan dollar dari ekspor meningkat," papar Tengku.

Dalam jangka pendek, lanjut dia, porsi belanja infrastruktur non-APBN, khususnya BUMN, mesti ditingkatkan agar utang negara untuk infrastruktur bisa berkurang. Kebocoran pajak juga harus ditekan, sehingga defisit APBN yang selama ini ditambal dari utang bisa diperkecil.

"Jangan terus bandingkan rasio utang kita seperti halnya negara maju. Penyusunan PDB kita sangat berbeda dengan negara maju yang didominasi ekspor perusahaan swasta mereka sendiri," jelas Tengku.

Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Moermahadi Soerja Djanegara, juga mengingatkan pemerintah untuk menekan rasio utang. Saat menyampaikan laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2018, Selasa (28/5), Moermahadi mengatakan utang pemerintah pusat terus meningkat sejak 2015, meski masih di bawah ambang batas 60 persen dari PDB.

Tak Capai Target

Pada 2015, rasio utang pemerintah mencapai 27,4 persen. Setahun kemudian naik menjadi 28,3 persen dan kembali melonjak hingga 29,93 persen pada 2017. Tahun lalu, kata dia, rasio utang menurun menjadi 29,81 persen. "Tapi, kami memberi warning, hati-hati jika semakin lama semakin meningkat," tutur dia.

Kenaikan utang pemerintah juga tecermin dalam laporan Bank Indonesia (BI). BI mencatat utang luar negeri (ULN) pada akhir triwulan I 2019 mencapai 387,6 miliar dollar AS atau tumbuh 7,9 persen (year-on-year). Utang itu terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral 190,5 miliar dollar AS serta utang swasta termasuk BUMN 197,1 miliar dollar AS.

Meski utang terus naik, Moermahadi mengatakan pemerintah tidak dapat mencapai target beberapa indikator makroekonomi. Contohnya, pertumbuhan ekonomi 5,17 persen atau di bawah target 5,40 persen.

Menanggapi kinerja pertumbuhan itu, Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menilai agar Indonesia mampu keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi lima persen, maka perlu meningkatkan ekspor dan investasi, serta memperbesar kontribusi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam kegiatan perekonomian nasional.

Wakil Ketua KEIN, Arif Budimanta, mengatakan selama ini pertumbuhan ekonomi nasional bertumpu pada konsumsi, baik konsumsi rumah tangga (RT) maupun konsumsi pemerintah.YK/WP

Penulis: Eko S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.