Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Rantai Pasok | Inflasi Global Diharapkan Bisa Melunak dan Moderat

Perlambatan Perdagangan Global Bakal Memburuk pada 2023

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

»Fokus menjaga dan meningkatkan neraca perdagangan agar tetap surplus terutama sektor nonmigas.

» Jika harga energi kembali turun maka inflasi global bisa menurun dan meningkatkan kembali permintaan.

JAKARTA - Kondisi perlambatan perdagangan global yang sedang berlangsung saat ini diperkirakan akan semakin memburuk pada 2023 mendatang. Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) baru-baru ini menyatakan proyeksi kondisi makin memburuk karena diliputi ketidakpastian.

"Sementara prospek perdagangan global tetap tidak pasti, faktor negatif tampaknya lebih besar daripada tren positif," kata UNCTAD dalam pembaruan perdagangan.

Lembaga itu memperkirakan nilai perdagangan global akan menurun pada kuartal keempat tahun ini, baik untuk barang maupun jasa-jasa, setelah terlihat lebih tangguh selama paruh kedua 2022.

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Univeristas Gadjah Mada, Eddy Junarsin, mengatakan prospek ekonomi global pada 2023 diperkirakan memburuk karena risiko resesi dan tingkat inflasi tinggi serta diikuti ketidakpastian ekonomi tinggi yang disebabkan oleh volatilitas keuangan global.

"Harapannya resesi global tidak terjadi. Mudah-mudahan koordinasi global lebih baik sehingga pemulihan menjadi lebih cepat," kata Eddy.

Dia menyebutkan rata-rata inflasi negara global mencapai 9,2 persen dan diharapkan bisa melunak di bawah angka tersebut. Saat ini, kata Eddy, tingkat inflasi negara Eropa akibat dampak perang Russia dan Ukraina mencapai 10 persen, sedangkan Amerika Serikat (AS) mencapai 7,1 persen.

"Negara maju seperti AS tingkat inflasinya sampai 9 persen. Sekarang 7,1 persen. Turun 1 hingga 2,5 persen saja mereka sangat senang. Eropa sekarang 10 persen. Indonesia sekitar 5,42 inflasinya, lebih moderat daripada negara maju," ujarnya.

Mengenai resesi, Eddy menyampaikan bahwa negara di dunia termasuk Indonesia sudah mengalaminya di awal pandemi di mana pertumbuhan hampir seluruh negara negatif. "Bila krisis sudah lewat, selalu ada efek samping. Biasanya yang akan terjadi adalah peredaran uang yang lebih banyak, akan terjadi inflasi dan agak melonjak, seberapa lama kondisi ini terjadi, itu yang perlu diatur," pungkasnya.

Menghadapi ancaman tahun depan, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan pemerintah harus fokus menjaga dan meningkatkan kinerja neraca perdagangan agar tetap surplus terutama sektor nonmigas. "Tentu dengan tetap menjaga produktivitas dalam negeri," ungkapnya.

Selain itu, juga perlu memperkuat diversifikasi produk ekspor nonmigas, untuk meningkatan neraca perdagangan Indonesia.

Penting juga menyusun rencana strategis jangka menengah menyikapi kondisi perdaganga global yang tidak menentu. Misalnya, BPS mencatat neraca perdagangan Indonesia pada September 2022 surplus 4,99 miliar dollar AS. Walaupun surplus, namun turun dibanding Agustus 2022 yang surplus 5,71 miliar dollar AS.

Bahkan secara akumulasi Januari- September 2022 Neraca Perdagangan Indonesia surlus 39,97 miliar dollar AS, meningkat dibanding periode yang sama 2021 yang surplus 25,10 miliar dollar AS.

"Tren baik ini yang perlu dijaga pemerintah, dengan fokus pada peningkatan kinerja perdagangan salah satunya melalui diversifikasi nonmigas," ungkap Badiul.

Harga Minyak

Diminta terpisah, Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan walaupun masih gelap, namun ada harapan perdagangan global bisa membaik jika penurunan harga minyak global terus berlanjut. "Jika harga energi kembali menurun, inflasi di tingkat global bisa menurun dan meningkatkan kembali permintaan barang-barang global, termasuk barang ekspor dari Indonesia," ujarnya.

Saat ini, lanjutnya, harga minyak global berada di angka 70 dollar AS per barel. "Saya rasa bisa menjadi sinyal positif perdagangan global," ungkapnya.

Adapun sisi pangan, katanya, akan sangat tergantung dari faktor perang dan strategi proteksionisme komoditas yang masih bisa mungkin berlanjut tahun depan.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan selama penyebab utama ketidakpastian global yaitu perang masih berlangsung, maka dampaknya akan tetap terasa di perdagangan global.

Apalagi sampai sekarang belum ada tanda-tanda konflik di Ukraina akan berakhir, perang masih berkecamuk dan belum ada tanda-tanda mereka membuka dialog ke arah yang lebih baik.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top