Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kelompok G20 I Selama Ini Pangan Dunia Dikuasai Segelintir Negara Maju

Perdagangan Pangan Global Harus Adil dan Setara

Foto : Sumber: Global Food Security Index 2020 –Litbang K
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah Indonesia mendorong kolaborasi anggota negara-negara kelompok G20 untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi masyarakat global melalui pembangunan sistem pangan dan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan.

Co-Sherpa G20 Indonesia, Edi Prio Pambudi, di Jakarta, mengatakan kolaborasi G20 diharapkan dapat meningkatkan mata pencaharian petani kecil, mempromosikan pertanian dan agripreneur inovatif melalui pertanian digital.

"Pertanian menentukan kelancaran pasokan pangan dan kualitas gizi yang berdampak pada pembangunan kesehatan dan serta lingkungan, kita tentu mengharapkan kolaborasi yang kuat," kata Edi yang juga menjabat sebagai Deputi bidang Koordinator Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian.

Dia mengatakan pembahasan dalam Agriculture Deputies Meeting (ADM) diharapkan dapat mendorong kolaborasi dalam aspek ketahanan pangan, teknologi, dan digitalisasi sektor pertanian, riset dan inovasi pertanian, serta peranan pemuda dalam membangun inovasi pertanian.

Menurutnya, sektor pertanian memerlukan peningkatan produktivitas dengan menarik sebanyak-banyaknya pekerja muda serta mengentaskan kelaparan dan kemiskinan ekstrem. "Selain itu, penting menempatkan pertanian sebagai isu prioritas dalam membangun Global Food Security serta mendukung Green Economy Agenda," katanya.

Dewan Penasihat Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, mengatakan Indonesia bisa menuntut negara-negara maju anggota G20 untuk menyelenggarakan mekanisme perdagangan pangan dunia yang lebih adil dan supply chain yang setara.

"Selama ini pangan dunia dikuasai segelintir negara maju. Itu kan tidak berlangsung normal, tapi ada mekanisme yang tidak adil yang berlangsung. Nah, ini kan bisa diurai di forum pangan G20," kata Yakub.

Selain itu, G20 juga mesti bisa menghentikan penggunaan teknologi yang tak ramah lingkungan dan monopoli penyebab ketergantungan input pertanian kepada negara-negara kaya.

Forum G20 mesti memunculkan gagasan dari Indonesia yang sesuai dengan grand design pembangunan pertanian dan pangan 2050 yang berorientasi pangan berkelanjutan.

"Supply chain kan belum adil, terutama di input pertanian dari benih . Selain itu, agroekologis perlu dirancang dengan rencana aksi yang konkret dengan target dunia tanpa kelaparan, good practices agriculture (GAP) dan kerja sama green technology pertanian yang menjadikan petani kecil sebagai motor penggeraknya," papar Yakub.

Ajakan Realistis

Dihubungi terpisah, Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), Edy Suandi Hamid, mengatakan dorongan Indonesia agar anggota negara G20 berkolaborasi dalam mewujudkan ketahanan pangan global adalah ajakan yang realistis karena menyangkut kepentingan semua negara.

Apalagi, ketahanan pangan merupakan ketersediaan pangan bagi semua rakyat yang asasi bagi setiap manusia. Sebab itu, perlu kerja sama dan kepedulian semua negara untuk mewujudkannya. "Namun adanya nasionalisme yang berlebihan, dengan dalih kepentingan nasional masing-masing sering memunculkan egoisme nasional, sehingga ketahanan pangan yang sifatnya lebih global belum terwujud," katanya.

Bagi Indonesia sendiri masalahnya lebih kompleks. Karena sebagai negara agraris, Indonesia sangat tergantung pada pasokan pangan dari negara lain. Di forum G20 ini, Indonesia, jelasnya, harus mendorong mekanisme perdagangan pangan dan pertanian yang adil.

"Perdagangan pangan yang fair bukan semata-mata free trade seperti tuntutan negara maju, namun juga fair trade," tandas Edy.

Sementara itu, Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan kolaborasi G20 untuk membangun sistem pangan dan pertanian yang berkelanjutan perlu diarahkan untuk mengembangkan substitusi impor, untuk mengurangi kebergantungan dari produk luar.

"Pemerintah harus membangun pertanian berkelanjutan agar mengurangi impor pangan yang membebani anggaran. Kerja sama yang dijalin perlu mencari jalan keluar untuk mencari produk alternatif, misalnya pengganti gandum. APBN digunakan untuk membangun infrastruktur pertanian serta mengembangkan komoditas alternatif yang selama ini banyak menguras devisa seperti gandum, diganti sorgum," kata Ramdan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top