Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Perang Malvinas, Invasi Demi Pengalihan Isu?

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Tahun ini genap 40 tahun Perang Falkland atau Perang Malvinas. Dimulai pada 2 April dan berakhir pada 14 Juni 1982, perang yang berlangsung 74 hari merupakan buah dari invasi Argentina ke Kepulauan Falkland yang dikuasai Inggris.

Kepulauan Falkland atau Islas Malvinas, South Georgia dan South Sandwich terdiri dari 2 pulau besar dan beberapa pulau kecil lainnya di bagian selatan Samudra Atlantik. Letaknya bagian timur wilayah Argentina sebelah utara dengan jarak 483 kilometer dari daratan Argentina.
Argentina telah lama mengklaim pulau-pulau ini sebagai bagian dari wilayahnya. Klaim itu didasarkan semata-mata pada kedekatan ke daratan Argentina dan apa yang disebutnya sebagai "warisan" kedaulatan dari pemerintahan Spanyol yang gagal pada 1810.
Bagi masyarakat Argentina, klaim ini mempunyai makna emosional. Apalagi selama beberapa generasi, kurikulum sejarah di sekolah negeri menyatakan kepulauan itu milik mereka. Kondisi itu dimanfaatkan oleh junta militer yang berkuasa di bawah Presiden Jenderal Leopoldo Galtieri.
Ia mengobarkan perang sebagai pengalihan isu atas ketidakstabilan internal politik dan ekonomi yang mengancam pemerintahan diktator itu. Perang dinilai dapat mengalihkan perhatian dan mempersatukan agar penguasa dapat kontrol di dalam negeri.
Pada awal 1982, Galtieri mengizinkan invasi ke Kepulauan Falkland milik Inggris menyusul insiden antara pasukan Inggris dan Argentina di dekat Pulau Georgia Selatan. Selanjutnya pasukan Argentina mendarat di Falklands pada 2 April. Garnisun kecil marinir Kerajaan Inggris yang berada di sana melawan. Pada 4 April, Argentina telah merebut ibu kota di Port Stanley. Pasukan Argentina juga mendarat di Georgia Selatan dan dengan cepat mengamankan pulau itu.
Setelah mengatur tekanan diplomatik terhadap Argentina, Perdana Menteri Inggris saat itu, Margaret Thatcher, memerintahkan penyusunan gugus tugas angkatan laut untuk merebut kembali pulau-pulau itu. House of Commons menyetujui tindakan Thatcher pada 3 April, lalu membentuk Kabinet Perang.
Dipimpin oleh Laksamana Sir John Fieldhouse, gugus tugas terdiri dari beberapa kelompok, yang terbesar dipusatkan pada kapal induk HMS Hermes dan HMS Invincible. Dipimpin oleh Laksamana Muda "Sandy" Woodward, kelompok kapal perang ini berisi jet tempur Sea Harrier yang akan memberikan perlindungan udara untuk armada.
Pada pertengahan April, Fieldhouse mulai bergerak ke selatan, dengan armada besar tanker dan kapal kargo untuk memasok armada saat beroperasi lebih dari 8.000 mil dari Inggris. Sebanyak 127 kapal bertugas di gugus tugas termasuk 43 kapal perang, 22 armada tambahan dan 62 kapal dagang.
Saat armada itu berlayar menuju ke selatan dari Pulau Ascension, armada itu dibayangi oleh Boeing 707 dari Angkatan Udara Argentina. Pada 25 April, pasukan Inggris menenggelamkan kapal selam ARA Santa Fe di dekat Georgia Selatan sesaat sebelum pasukan yang dipimpin oleh Mayor Guy Sheridan dari marinir Kerajaan Inggris membebaskan pulau itu.
Lima hari kemudian, penyerbuan ke Falklands dimulai melalui operasi "Black Buck" oleh pesawat pengebom RAF Vulcan yang terbang dari Pulau Ascension, sebuah pulau di tengah Samudra Atlantik. Operasi ini menargetkan landasan pacu di Port Stanley dan fasilitas radar di daerah tersebut.
Pada hari yang sama jet tempur Harrier menyerang berbagai sasaran, serta menembak jatuh tiga pesawat Argentina. Karena landasan pacu di Port Stanley terlalu pendek untuk pesawat tempur modern, Angkatan Udara Argentina terpaksa terbang dari daratan, yang menempatkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan selama konflik.
Saat berlayar ke barat Falklands pada 2 Mei, kapal selam HMS Conqueror melihat kapal penjelajah ringan ARA General Belgrano. Conqueror menembakkan tiga torpedo, mengenai kapal perang yang pernah digunakan pada Perang Dunia II dan menenggelamkannya, serta menewaskan 323 awak.
Serangan ini menyebabkan armada Argentina, termasuk kapal induk ARA Veinticinco de Mayo, tetap berada di pelabuhan selama sisa perang. Dua hari kemudian, Argentina membalas dengan meluncurkan misil antikapal Exocet dari pesawat tempur Super Etendard yang menghantam HMS Sheffield dan membakarnya, hingga menewaskan 20 orang awak.
Pada 21 Mei 1982 malam, unit pasukan amfibi Inggris yang dipimpin Michael Clapp bergerak ke Falkland Sound dan mulai mendaratkan pasukan Inggris di San Carlos Water di pantai barat laut Falkland timur. Pendaratan telah didahului oleh serangan Special Air Service (SAS) di lapangan terbang Pulau Pebble di dekatnya. Ketika pendaratan selesai, sekitar 4.000 orang, yang dikomandani oleh Brigadir Julian Thompson, telah diturunkan ke darat.
Thompson menggiring anak buahnya ke selatan, berencana untuk mengamankan sisi barat pulau sebelum pindah ke timur ke Port Stanley. Pada 27/28 Mei, 600 orang di bawah Letnan Kolonel Herbert Jones mengalahkan lebih dari 1.000 orang Argentina di sekitar Darwin dan Goose Green, yang pada akhirnya memaksa mereka untuk menyerah.
Pada awal Juni, 5.000 tentara Inggris tambahan tiba dan komando dialihkan ke Mayor Jenderal Jeremy Moore karena Jones gugur. Setelah mengkonsolidasikan posisinya, Moore mulai menyerang Port Stanley. Pasukan Inggris melancarkan serangan serentak di dataran tinggi di sekitar kota pada malam 11 Juni. Setelah pertempuran sengit, mereka berhasil merebut sasaran mereka.
Serangan berlanjut dua malam kemudian, dan unit pasukan Inggris mengambil garis pertahanan alami terakhir kota di Wireless Ridge dan Mount Tumbledown. Dikepung di darat dan diblokade di laut, komandan Argentina, Jenderal Mario Menéndez, menyadari situasinya tidak ada harapan dan pada 14 Juni ia bersama 9.800 anak buahnya pada 14 Juni menyerah dan penyerahan itu secara efektif mengakhiri konflik.

Akhir Kekuasaan Junta
Strategi Galtieri yang menggunakan perang untuk pengalihan isu ternyata gagal total. Ia bahkan harus tersingkir dari jabatannya setelah jatuhnya Port Stanley, yang menandai akhir bagi kekuasaan junta militer dan membuka jalan bagi pemulihan demokrasi.
Bagi Inggris, kemenangan tersebut memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan untuk kepercayaan nasionalnya. Di samping itu menegaskan kembali posisi internasionalnya, dan memastikan kemenangan bagi pemerintah Thatcher dalam pemilihan 1983.
Penyelesaian yang mengakhiri konflik menyerukan kembalinya status quo ante bellum atau kembali ke keadaan sebagaimana adanya sebelum perang. Namun meski kalah, Argentina masih mengklaim Falklands dan South Georgia. hay/I-1

Argentina Tetap Berusaha Merebut Kembali

Meski perang terjadi 40 tahun lalu, tapi Kepulauan Falkland atau Islas Malvinas masih menjadi pusat perhatian dalam kehidupan publik dan politik di seluruh Argentina. Setiap 2 April diperingati sebagai "pemulihan" (recovery) bagian integral dari wilayah nasional mereka dari Inggris.
"Pemulihan" hanya berlangsung selama 74 hari sebelum satuan tugas Inggris mengalahkan pasukan Argentina dan merebut kembali apa yang diakui pemerintah Inggris sebagai wilayah luar negeri Inggris yaitu Kepulauan Falkland.
Tahun ini, konflik telah ditandai dengan kalender peristiwa karena Argentina terus berusaha untuk menerima apa yang terjadi antara April dan Juni 1982. Pembingkaian kampanye militer di Argentina sebagai "pemulihan" teritorial penting untuk memahami kelanjutan dari klaim kedaulatan Malvinas dan warisan emosional yang dibungkus dengan perang.
Menteri Luar Negeri Argentina, Santiago Cafiero, dalam tulisannya di surat kabar Inggris, The Guardian, pada peringatan 40 tahun invasi pulau-pulau itu menyatakan, pemulihan kedaulatan [dari Malvinas] adalah tujuan yang tidak dapat dicabut dari rakyat Argentina.
Dosen Geografi Manusia, Universitas Newcastle Matthew Benwell mengatakan semangat untuk pemulihan kedaulatan tidak mengherankan. Apalagi amandemen Konstitusi Argentina pada 1994 secara efektif menuntut agar semua pemerintah berikutnya berkomitmen untuk pemulihan dan pelaksanaan kedaulatan penuh dari Malvinas dan wilayah Atlantik barat daya lainnya, yang meliputi South Georgia dan Kepulauan South Sandwich.
Antara 2003 dan 2015, Presiden Nestor Kirchner dan istrinya, Cristina, meningkatkan perhatian pada Malvinas, menjadikannya sebagai masalah prioritas baik dalam politik domestik maupun kebijakan luar negeri. Pada 2014, Cristina Kirchner membentuk Sekretariat Malvinas untuk mengkoordinasikan strategi Argentina terkait sengketa kedaulatan Malvinas.
Presiden Argentina saat ini, Alberto Fernández, juga telah membentuk Dewan Nasional untuk Masalah yang Berkaitan dengan Malvinas. Dewan ini terdiri dari politisi dari berbagai partai politik, akademisi dan veteran perang. Dewan terlihat untuk lebih memperkuat argumen Argentina dalam kaitannya dengan sengketa kedaulatan. Ini juga bertujuan untuk mengembangkan kebijakan yang mengarah pada "pemulihan" pulau-pulau tersebut.
Slogan "Las Malvinas son Argentinas" atau The Malvinas are Argentina disuarakan oleh Presiden Argentina di media sosial untuk memperkuat gagasan tentang "pemulihan" kedaulatan nasional atas pulau-pulau.
Bahkan ada inisiatif pemerintah baru-baru ini akan mewajibkan semua bentuk transportasi umum untuk membawa kata-kata "Las Malvinas son Argentinas." Referensi ke Malvinas di mana-mana dalam kehidupan publik Argentina dimulai di sekolah-sekolah dan yang paling menonjol waktu sekitar peringatan perang. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top