Jum'at, 22 Nov 2024, 01:30 WIB

Pemilu Harus Tetap Langsung Dipilih Rakyat

Foto: ISTIMEWA

JAKARTA – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto mengatakan Presiden Prabowo Subianto meminta sistem pemilihan umum (pemilu) untuk diperbaiki karena tidak efisien dan terlalu mahal. Pemilu yang diselenggarakan saat ini boros sehingga perlu dicari solusi yang lebih tepat.

“Sistem politik atau sistem pemilu ini boros, bukan hanya dalam hal penyelenggaraannya,” kata Wamendagri, di Jakarta, Kamis (21/11), menanggapi hasil riset dari peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Seperti dikutip dari Antara, Bima mengatakan pada saat dipanggil ke kediaman Presiden Prabowo ketika akan ditunjuk sebagai wakil menteri, Presiden berpesan untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia. Selain Presiden, kata Bima Arya, keluhan juga terjadi di ruang publik, baik oleh pengamat, peneliti, masyarakat, maupun politikus.

“Tata cara pemilihannya pun menimbulkan politik biaya tinggi, politik uang, dan lain sebagainya. Aspirasi dan keluhan datang dari mana-mana,” tuturnya. Untuk itu, lanjut Bima Arya, saat ini Kemendagri berupaya mencari formulasi yang baik untuk sistem pemilu supaya tidak boros dan lebih baik lagi.

Berbiaya Tinggi

Ia menyatakan dengan pemilu berbiaya tinggi, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan harapan sehingga Kemendagri akan berupaya memperbaiki sistem setelah Pilkada 2024 selesai.

"Jadi, ini waktu yang sangat tepat untuk memperbaiki karena kita ingin pemerintahan ini efektif dan efisien," katanya.

Sementara itu, pengamat politik sekaligus Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan, pemborosan yang terjadi dalam pemilu memang harus dicarikan jalan keluar namun bukan berarti harus mengubah  proses demokrasi pemilihan langsung oleh rakyat untuk digantikan dengan pemilihan lewat legislatif. 

Menurut Surokim, politik biaya tinggi yang muncul dalam pilkada dan pilpres karena masih marak fenomena parpol maupun paslon yang mencari jalan pintas melakukan politik uang sehingga masyarakat terbiasa.

Dia menyarankan kalau mau itu dihilangkan harus top down (dari atas), yaitu kekuatan-kekuatan politik dan pemimpin-pemimpin yang mulai dengan menjalankan proses demokrasi yang jurdil, bukan dengan menghilangkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri dengan pemilihan tidak langsung.

“Nilai kedaulatan rakyat memang lebih mahal. Pemilihan tidak langsung juga hanya memindahkan ‘transaksi’ itu dari paslon ke rakyat menjadi paslon ke dewan, sama saja. Jangan sampai hasil reformasi yang dicapai susah payah diganti dan malah demokrasi kita setback. Harusnya elite politik yang memberi contoh untuk membangun sistem demokrasi yang sehat, dan jurdil," tuturnya. 

Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, mengatakan wacana untuk mengembalikan pilkada dari sistem langsung ke mekanisme pemilihan oleh DPRD merupakan salah satu penanda kemerosotan demokrasi di Indonesia sekaligus mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memperbaiki kualitas demokrasi elektoral.

Menurut Yance, alasan pemerintah yang mengkhawatirkan politik uang dalam pilkada langsung sebenarnya mengabaikan akar masalahnya.

"Jika memang yang menjadi kekhawatiran adalah politik uang maka seharusnya akar persoalan ini yang diselesaikan. Bahkan saat ini, dalam proses pencalonan pun ada mahar politik. Artinya, masalah politik uang tidak hanya terjadi di pilkada langsung, tetapi juga di tahap kandidasi," jelasnya.

Yance menekankan penegakan hukum terhadap praktik politik uang masih sangat lemah. "Kita butuh pelembagaan yang serius untuk menangani politik uang. Saat ini, penegakan hukum hanya sebatas formalitas, tanpa langkah konkret yang efektif," katanya.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Eko S

Tag Terkait:

Bagikan: