Nasional Luar Negeri Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona Genvoice Kupas Splash Wisata Perspektif Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pemerintahan Prabowo-Gibran Harus Serius Tangani Masalah Sampah

Foto : Istimewa

Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas).

A   A   A   Pengaturan Font

Persoalan sampah dalam negeri memuncak, malah Indonesia diserang oleh berbagai jenis sampah impor dari puluhan negera industri maju, seperti negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia. Klimaksnya terjadi pada tahun 2019 hingga 2022, meskipun belakangan agak hati-hati setelah Presiden Joko Widodo melakukan dua kali Rapat Terbatas Kabinet berkaitan dengan permasalahan dan isu sampah impor. Indonesia dan beberapa negara Asean menjadi tujuan dumping sampah.

Paradigma bahwa sampah impor sebagai komoditas sudah berjalan lama. Sampah bisa jadi komoditas politik, bisa jadi komoditas ekonomi bisnis. Sehingga terjadi ekspor-impor sampah, bukan hanya komoditas pangan, sawit, kayu, besi, dan nikel. Belakangan sampah sebagai komoditas ekonomi bisnis menjadi pembicaran seru di dunia internasiol.

Sudah cukup lama Tiongkok, salah satu negara di Asia Timur menjadi tujuan impor sampah dari negara industri maju Eropa, Amerika, Jepang. Selain itu negara-negara Asia Tenggara pun menjadi tujuan dan target pasar dumping sampah impor, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Pada awal Januari 2018, Tiongkok mengeluarkan kebijakan menutup kran impor sampah disebut "National Sword Policy". Akibatnya terjadi chaos industri daur ulang secara global. Selanjutnya impor sampah itu membanjiri negara Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Modus aktivitas impor sampah sekarang mengalami perkembangan, yakni mememuhi kebutuhan bahan baku daur ulang. Padahal jika impor sampah, yang bisa didaur-ulang hanya 10-12 persen. Bahkan, sebagian sampah impor mengandung limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Kecuali, memang impor bahan baku yang popular disebut "ori". Katanya, kualitasnya lebih bagus dan mungkin harganya lebih murah serta karena bahan baku dalam negeri belum mencukupi.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top