Pemerintah Harus Segera Hentikan Kebijakan PPN 12 Persen
Tarif PPN 12% I Daya Beli Masyarakat Terancam Makin Turun
Foto: antaraJAKARTA – Pemerintah harus segera menghentikan kebijakan pemberlakuan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Pemerintah hendaknya segera keluar dari jebakan oligarki yang mau cuci tangan atas hancurnya ekonomi negara dengan cara menaikkan PPN.
“Pemerintah harus keluar dari jebakan oligarki yang mau cuci tangan atas hancurnya ekonomi negara. Oligarki yang menjadi beban negara terutama pada saat Covid-19 hendak memindahkan beban kepada masyarakat melalui kebijakan pemerintah ini,” kata pengamat ekonomi, Salamuddin Daeng, kepada Koran Jakarta, Minggu (22/12).
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, menurut Salamuddin, mengingatkan bahwa kebijakan ini dapat menjadi ancaman serius bagi daya beli masyarakat jika diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi sekarang.
Menurut Pasal 7 UU tersebut, tarif PPN 12 persen harus berlaku paling lambat pada tahun 2025. Namun, Salamuddin menegaskan pemerintah sebenarnya memiliki fleksibilitas untuk menunda penerapan kebijakan ini.
“Kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat harus menjadi pertimbangan utama. Saat ini, masyarakat sedang mengalami tekanan ekonomi yang signifikan. Jika diterapkan, PPN 12 persen justru dapat memperburuk situasi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Salamuddin mengingatkan konsumsi rumah tangga memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan kontribusi mencapai 52 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kenaikan PPN akan mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi. Perusahaan juga akan menahan ekspansi, dan pemerintah sendiri sudah menyatakan akan menghemat belanja. Dalam kondisi ini, sulit membayangkan bahwa kenaikan PPN dapat meningkatkan penerimaan pajak,” ujarnya.
Salamuddin menyarankan agar pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan ini dan mencari solusi alternatif yang lebih efektif. Ia mengusulkan agar pemerintah fokus pada strategi yang mendukung pemerataan ekonomi, seperti penguatan bagi hasil sumber daya alam.
“Indonesia pernah berjaya melalui mekanisme bagi hasil minyak. Pendekatan ini bisa diterapkan di sektor lain untuk mengurangi ketergantungan pada pajak konsumsi,” ungkapnya.
Kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan semangat konstitusi dan amanat sejarah bangsa. “Spirit Pembukaan UUD 1945 menegaskan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah perlu memprioritaskan kebijakan yang melindungi masyarakat kecil dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan yang membebani mereka,” tegas Salamuddin.
Pemerintah Prabowo diharapkan mampu mengubah arah kebijakan fiskal agar lebih berorientasi pada kesejahteraan rakyat. “Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, tetapi juga dapat menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan,” tutur Salamuddin.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan pemerintah tidak bisa serta-merta menambah beban ekonomi ke tengah masyarakat yang saat ini jelas-jelas mengalami penurunan daya beli melalui kenaikan PPN 12 persen.
"Pemerintah harusnya bisa lebih bijaksana membaca situasi, saat ini kondisi daya beli masyarakat sedang babak belur karena harga-harga yang sudah lebih dahulu naik. Kenaikan PPN jelas akan membebani masyarakat dan daya beli, karena kenaikan tersebut akan dibebankan pada konsumen. Jika mereka tidak mau menanggungnya, dunia usaha ikut menanggug karena penjualan turun,” kata Wibisono.
Akibatnya bisa ditebak, PHK di mana-mana. Wibisono yakin pemerintah tidak ingin itu sampai terjadi. “Ditambah lagi kalau jadi diterapkan ke metode pembayaran QRIS, saya kira akan banyak sekali usaha kecil yang terpukul. Karena hampir semua warung atau usaha kuliner mengandalkan metode bayar ini. Kalau pembelinya sedang tidak bawa cash, akan banyak yang batal beli. Ini akan sangat mengganggu UMKM kita," tuturnya.
Fenomena Perlambatan
Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Calios), Nailul Huda mengatakan sebelum memberlakukan tarif PPN 12 persen, pemerintah sebaiknya melihat fenomena perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam beberapa tahun terakhir.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tahun 2014 mencapai 5,15 persen. Sedangkan tahun 2023, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,8 persen. Padahal klaim Pemerintahan saat itu, inflasi berada di situasi terkendali rendah.
Namun konsumsi rumah tangga kita terus merosot yang menandakan masyarakat enggan mengonsumsi barang lebih banyak. Fenomena lainnya bahwa kelas menengah di Indonesia tengah dalam kondisi memasang sabuk kencang-kencang karena pendapatan mereka naik terbatas.
Di tahun 2022, kenaikan rata- rata gaji masyarakat Indonesia sebesar 3,5 persen. Pada tahun 2022, inflasi tahunan berada di angka 5,51 persen. Pada tahun 2023, kenaikan gaji rata-rata hanya 89.391 rupiah per bulan atau hanya naik 2,8 persen saja. Sedangkan di tahun 2022 ada kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen dan ada kenaikan harga Pertalite sebesar 30 persen. “Kenaikan gaji mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang meningkat lebih tinggi,”ujar Huda.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 2 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 3 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 4 Sabtu, Harga Pangan Mayoritas Turun, Daging Sapi Rp131.990 per Kg
- 5 Desa-desa di Indonesia Diminta Kembangkan Potensi Lokal