Pemerintah Harus Berani Hentikan Pembayaran Obligasi Rekap BLBI
Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho
Foto: antaraJAKARTA– Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 baru akan efektif berjalan 1 Januari 2025 mendatang, tetapi sudah diawali dengan defisit 600 triliun rupiah. Defisit itu ditengarai karena pembayaran cicilan dan bunga utang akibat obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Beban yang menyandera keuangan negara itu akan terus menggelayuti kebijakan fiskal jika pemerintah tidak pernah berniat menyelesaikan OR BLBI.
Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho, mengkritik keras rencana pemerintah mengambil langkah kontroversial berupa pengurangan subsidi energi dan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
Menurutnya, salah satu opsi menyelamatkan APBN adalah menghentikan pembayaran obligasi rekapitaliasi yang selama ini membebani anggaran negara.
Hardjuno menegaskan bahwa pembayaran obligasi rekap BLBI kepada bank-bank besar yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak lagi relevan dan justru merugikan rakyat.
“Setiap tahun, sekitar 50–70 triliun rupiah dari APBN dialokasikan untuk membayar obligasi rekap. Sementara itu, rakyat diminta untuk menanggung kenaikan PPN dan subsidi energi dipangkas. Di mana keberpihakan pemerintah?” tegas Hardjuno saat dihubungi Minggu (1/12).
Kandidat Doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga itu mengatakan pemerintah harus berani mengambil langkah progresif untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI. Ia menilai bahwa alokasi anggaran ini sudah tidak sesuai dengan prinsip keadilan fiskal.
“Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk subsidi energi atau program lain yang lebih langsung menyentuh kebutuhan masyarakat,” katanya.
Hardjuno menjelaskan jika pemerintah menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, maka anggaran sebesar 50–70 triliun rupiah per tahun bisa digunakan untuk menutup sebagian defisit APBN tanpa harus menaikkan PPN atau mengurangi subsidi energi.
“Dengan langkah itu, kita punya modal untuk investasi, tidak perlu memintaminta negara lain berinvestasi di Indonesia. Kita bukan tidak ada duit, tapi kita boros untuk hal-hal yang tidak produktif,” kata Hardjuno.
Pembayaran Bunga
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan jika melihat postur APBN 2025 pemerintah berupaya menjaga stabilitas fiskal dalam transisi pemerintahan. Namun, fakta tingginya beban utang mempersempit ruang gerak mengakselerasi ekonomi yang lebih produktif.
Dampak beban utang itu di antaranya adalah defisit APBN yang mencapai 616 triliun rupiah. Dengan situasi seperti itu, maka pemerintah pasti akan menarik pembiayaan utang di kisaran 775 triliun rupiah. Jika dilihat, ini mengalami kenaikan dibanding tahun 2024 yaitu 500 triliun rupiah.
- Baca Juga: Perkembangan Teknologi Ubah Kebutuhan Industri
- Baca Juga: Birokrasi Adalah Mesin Pembangunan
Dengan skema penarikan pembiayaan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri, maka tentu akan menambah beban pembayaran bunga dan pokok utang yang menyerap sekitar 37 persen dari total belanja negara.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
Berita Terkini
- Hasilkan Lulusan Berdaya Saing Global, Kini Rumah Sakit Pendidikan Dibangun di Cikarang
- Menteri PPPA: Remaja Pelaku Penusukan Orangtua di Lebak Bulus Anak Baik
- Ketebalan Es Pegunungan Jayawijaya Papua Menyusut Tinggal Empat Meter
- Kementan Selidiki Kasus PMK di Lumajang
- Perumnas Siap Kembangkan Hunian Vertikal di Pulogebang