Pekerja Sektor Informal dan Pertanian Masih Bergelut dengan Upah Rendah
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Pambudy
Foto: antara>> Belum mampunya RI keluar dari perangkap Middle Income Trap karena belum dioptimalkannya pengembangan UMKM.
JAKARTA– Dalam dua dasawarsa terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di 5 persen. Meskipun relatif stabil, namun pertumbuhan tersebut belum cukup membawa Indonesia dari stagnasi atau jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Pambudy, baru-baru ini mengatakan salah satu penyebab utama jebakan pendapatan menengah itu adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja. Banyak pekerja Indonesia, terutama di sektor informal dan pertanian, masih bergelut dalam pekerjaan dengan upah rendah dan produktivitas yang minim.
Statistik menunjukkan bahwa sektor pertanian menyerap hampir 30 persen tenaga kerja nasional, meskipun hanya menyumbang 12,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).Sebaliknya, sektor industri yang idealnya menjadi motor penggerak ekonomi, hanya menyerap sekitar 14 persen tenaga kerja dan kontribusinya terhadap PDB menurun hingga 19,7 persen pada 2020.
Perubahan struktural untuk memindahkan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor yang lebih produktif menjadi agenda yang mendesak.Namun, masalah produktivitas itu tidak berdiri sendiri. Kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa juga perlu ditingkatkan secara signifikan. Indeks Modal Manusia Indonesia masih berada di angka 0,54, jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura (0,88).
Hal itu berarti seorang anak yang lahir di Indonesia saat ini hanya memiliki peluang 54 persen untuk mencapai potensi penuh mereka dibandingkan anak di negara dengan pendidikan dan layanan kesehatan terbaik.
Data itu sejalan dengan hasil tes PISA, yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains masih di bawah rata-rata global.
Tim peneliti dari Fakultas Ilmu Admnistrasi Universitas Brawijaya, yakni Petrus Sepraldi Siregar, Widya Jamilah Mersi, dan Shela Hajjaria Putri dalam risetnya tentang middle income trap pada 2021 mendapati bahwa dari catatan Bank Dunia hanya ada 13 negara di dunia yang mampu keluar dari middle income trap dari 101 negara, termasuk Indonesia yang telah terperangkap dalam zona tersebut sejak tahun 1985.
Menurut mereka,salah satu hal yang menyebabkan belum mampunya Indonesia keluar dari perangkap tersebut karena sumber daya yang ada seperti pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) belum dioptimalkan.
Menanggapi hal tersebut, pengamat ekonomi dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan kontribusi tenaga kerja yang dominan di sektor informal belum sepenuhnya tecermin dalam data resmi.
“Produktivitas sektor informal sering kali tidak terukur dalam perhitungan formal PDB. Padahal, kontribusinya terhadap perekonomian sangat nyata,” kata Achmad.
Sektor informal meliputi perdagangan kecil, pekerjaan rumahan, hingga jasa informal lainnya, yang seluruhnya menjadi bagian besar dari aktivitas ekonomi masyarakat. Dia pun menyoroti beberapa implikasi dari kurangnya perhatian terhadap sektor informal. Pertama, data produktivitas yang digunakan untuk analisis makroekonomi cenderung underestimasi karena hanya mencerminkan sektor formal. Kedua, hal itu memunculkan ketidaktepatan diagnosis ekonomi, di mana sektor informal sering kali tidak menjadi fokus utama kebijakan. Ketiga, terjadi kesenjangan kebijakan karena sebagian besar program pemerintah lebih diarahkan untuk sektor formal.
“Fokus kebijakan seperti pelatihan kerja, akses teknologi, dan dukungan finansial sering kali tidak menjangkau mayoritas tenaga kerja yang ada di sektor informal,” tambahnya.
Perlu Direncanakan
Diminta dalam waktu berbeda, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko, mengatakan kunci peningkatan pendapatan nasional adalah peningkatan produktivitas. Sedangkan produktivitas secara teoritis dipengaruhi oleh human capital, mesin dan alat produksi lain yang digunakan, ketersediaan sumber daya alam dan teknologi yang digunakan.
“Human capital memegang peranan penting dalam peningkatan produktivitas karena sifatnya yang dinamis dan dapat ditingkatkan, sedangkan faktor produksi lain relatif lebih kecil perubahannya,” kata Suhartoko.
Namun demikian, meningkatkan kualitas human capital perlu direncanakan dalam jangka panjang dan berkaitan dengan perencanaan pendidikan serta kebutuhan pasar.
“Tidak hanya pendidikan formal, namun juga pendidikan luar sekolah seperti balai latihan kerja, magang, standar sertifikasi, dan pengiriman pelatihan tenaga terampil ke luar negeri,” katanya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Tiongkok Temukan Padi Abadi, Tanam Sekali Panen 8 Kali
- 2 Cegah Jatuh Korban, Jalur Evakuasi Segera Disiapkan untuk Warga Sekitar Gunung Dempo
- 3 Ratusan Pemantau Pemilu Asing Tertarik Lihat Langsung Persaingan Luluk-Khofifah-Risma
- 4 BKD Banten Periksa Pejabat Kesbangpol Buntut Spanduk Kontroversial
- 5 Dharma-Kun Berjanji Akan Bebaskan Pajak untuk Pengemudi Taksi dan Ojek Online