Obligasi Rekap BLBI Sudah Merampas Hak Hidup dan Masa Depan Rakyat
Foto: Sumber: Kemenkeu – Litbang KJ/and - koran jakartaJAKARTA - Daya beli masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah terus tergerus. Peningkatan pendapatan yang diterima dinilai tidak sebanding dengan naiknya harga-harga kebutuhan. Fenomena "mantab" atau makan tabungan benar-benar telah terjadi yang mengindikasikan melemahnya daya beli masyrakat.
Di tengah situasi yang serba sulit tersebut, kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang bermasalah saat krisis ekonomi 1998 menjadi sangat tidak adil.
Obligasi rekapitalisasi BLBI telah merampas hak hidup dan masa depan Rakyat Indonesia. Biaya bunga utang negara yang diperkirakan mencapai 700 triliun rupiah setiap tahunnya, dan akan terus bertambah secara majemuk, menciptakan beban berat yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, Kamis (4/7), kembali mengingatkan bahwa skandal BLBI dan obligasi rekap BLBI telah menjadi bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah keadilan dan penegakan hukum.
Dalam pandangannya, penanganan BLBI sering kali hanya menjadi lips service atau sekadar janji politik tanpa tindakan nyata. Karenanya, penting dilakukan langkah konkret untuk mengejar para pelaku dan memastikan uang negara dapat dikembalikan.
Hardjuno menekankan, di tengah situasi tekanan ekonomi dan beban fiskal yang sangat berat seperti tahun-tahun ini, moratorium pembayaran bunga rekap dan penyitaan aset para pengemplang BLBI mesti berjalan beriring.
"Pemerintah harus berani berhenti membayar bunga rekap yang terus menambah beban keuangan negara dan memberikan dukungan penuh kepada Satgas BLBI untuk menuntaskan penarikan piutang negara dari para obligor BLBI," tandas Hardjuno.
Dengan menekan pengeluaran bunga obligasi rekap, pemerintah dapat lebih fokus pada pemulihan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Moratorium ini juga dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara terkait kasus BLBI.
Untuk menyelesaikan skandal BLBI secara tuntas, pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang lebih kuat dan mengambil langkah-langkah tegas. Hal ini termasuk mengevaluasi kebijakan pemerintah sebelumnya yang cenderung menguntungkan para obligor BLBI, mengumumkan laporan kemajuan penagihan utang kepada publik, dan membawa para pelaku yang tidak kooperatif ke ranah hukum.
Menurutnya, masalah BLBI ini tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah dan sistem hukum. Oleh karena itu, penanganan yang serius dan transparan sangat diperlukan untuk memastikan keadilan bagi rakyat Indonesia dan pemulihan ekonomi negara yang berkelanjutan.
Hardjuno kembali menegaskan bahwa skandal BLBI adalah kejahatan ekonomi terbesar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun sudah berlalu sekitar 26 tahun sejak tahun 1998, penyelesaian kasus ini masih jauh dari kata tuntas.
Menyakiti Hati Rakyat
Guru Besar Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Suparto Wijoyo, mengatakan, korupsi BLBI dan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI sudah menyakiti hati rakyat karena merampas hak hidup dan masa depan mereka dengan beban bunga yang begitu tinggi.
"Rakyat hanya tertegun menyaksikan aktor korupsi yang mayoritas berkedudukan terhormat, dan rata-rata mengenyam pendidikan tinggi. Rasa geram warga negara atas pencurian uang negara telah menimbulkan kekesalan," kata Suparto.
Menurutnya, korupsi setiap segmennya, benar-benar mengancam daya tahan negara. Publik harus terpanggil untuk membereskan korupsi yang kian berani.
Para akademisi dan berbagai pihak yang berjiwa antikorupsi dapat mengelola semangat rakyat untuk memperkuat KPK dan Kejaksaan Agung. Nalar sehat berkata agar kejahatan korupsi tidak diproteksi, kasus korupsi seperti BLBI jangan sampai diternak tanpa ditindak.
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi menegaskan, beban bunga utang memiliki dampak serius bagi keuangan negara dan perekonomian. Pemerintah perlu memperbaiki tata kelola fiskal agar fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan keberlanjutan.
"Moratorium utang, dengan cara Efektivitas pengelolaan utang, memastikan untuk pembiayaan hal hal produktif bagi perekonomian Indonesia di masa mendatang,"tegas Badiul.
Selain itu, perlu juga dilakukan penguatan ekonomi lokal, melalui diversifikasi sektor sektor strategis yang dapat meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang. Kebijakan di atas kata Badiul dimakdukan agar utang tidak merampas hak hidup rakyat.
Redaktur: M. Selamet Susanto
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
Berita Terkini
- Jika MBG Berjalan dengan Skema Sentralistik, Celios Ingatkan Potensi Kerugian pada 2025 Bisa Sebesar Ini
- Untuk Menggenjot Produksi Pangan demi Wujudkan Swasembada, Infrastruktur Pertanian Terus Diperkuat
- KAI Rekayasa Operasional Kereta Api Jarak Jauh untuk Antisipasi Kemacetan Malam Tahun Baru
- Cegah Banjir, Jakarta Gelar Modifikasi Cuaca Tahap III
- Peragakan 44 Adegan, Polda Jateng Rekonstruksi Penembakan Siswa SMKN 4 Semarang