Model Bisnis Pengembangan Efisiensi Energi Harus Diperbaiki
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Model bisnis pengembangan efisiensi energi di Indonesia harus diperbaiki agar bisa menawarkan keuntungan yang jelas bagi tujuan pengurangan emisi dan ketahanan energi Indonesia. Perbaikan juga akan memberikan dukungan menyeluruh terhadap tujuan strategis dari pembangunan di bidang sosial ekonomi.
Peningkatan efisiensi energi juga dapat berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi negara melalui penciptaan lapangan kerja serta peningkatan daya saing di sektor industri dan komersial. Manfaat-manfaat tersebut merupakan sesuatu yang berharga bagi setiap negara yang sedang berjuang melawan dampak pandemi Covid-19, termasuk Indonesia.
Studi terbaru Climate Policy Initiative (CPI) menyebutkan potensi pertumbuhan pasar efisiensi energi di Indonesia sangat besar asalkan model bisnis yang ada saat ini perlu diperbaiki.
Analis CPI, Muhammad Zeki, dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Senin (29/11), menyatakan model bisnis yang ada saat ini gagal mengatasi tantangan pasar.
Model bisnis yang belum diimplementasikan adalah perusahaan jasa energi atau Energy Service Companies (ESCOs) yang masih tergolong kecil sulit memperoleh pendanaan dari bank. Padahal, pemilik fasilitas pada posisi yang berisiko karena harus menanggung utang dari bank.
Begitu juga perjanjian kontrak yang umumnya digunakan di lingkup bisnis efisiensi energi juga belum membahas isu-isu utama tertentu. "Dalam studi CPI, kami menemukan cara mengelola risiko utama dalam model bisnis efisiensi energi yang sudah ada, yaitu menanggulangi perhitungan project return yang tidak jelas, serta biaya investasi terhadap proyek yang terkesan tinggi," katanya.
CPI, tambah Zeki, merekomendasi tiga model bisnis yang merupakan hasil penyesuaian dari model sebelumnya, yaitu model bisnis jasa atau perangkat, model bisnis sewa dan beli, serta model bisnis layanan energi berkualitas.
PLTS Atap
Direktur Energi Watch, Mamit Setiawan, mengatakan untuk mengejar target bauran energi 23 persen pada 2025, maka model bisnis energi terbarukan skala kecil yang lebih reliable ketimbang proyek-proyek besar adalah PLTS atap skala rumah tangga.
Syarat utamanya, PLN harus menerima tarif ekspor impor PLTS Atap yang sudah dikeluarkan Permennya, sehingga terjadi hubungan yang saling mengerti dan berkelanjutan. PLN, jelasnya, masih keberatan dengan tarif 1:1 terkait harga serap PLN pada kelebihan listrik PLTS Atap rumah tangga.
"Mereka merasa sudah oversupplay dan juga harus mengeluarkan biaya banyak untuk menyiapkan infrastruktur PLTS Atap," kata Mamit.
Pemerintah juga mengupayakan percepatan teknologi perangkat keras PLTS Atap sehingga harganya bisa lebih terjangkau bagai masyarakat.
Selain itu, juga perlu standard sun roof yang benar-benar bisa dipercaya karena awet, tahan lama, dan maintenance yang mudah.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- InJourney Airports Raih Rating Platinum di Asia Sustainability Reporting Rating 2024
- Bappenas Targetkan Pertumbuhan Ekonomi Sasar Kelompok Bawah
- TNI Berperan Penting Ciptakan Suasana Kondusif Saat Pilkada
- Pasangan Risma-Gus Hans Sampaikan Permohonan Maaf di Akhir Masa Kampanye Pilgub Jatim
- Degrowth, Melawan Industrialisasi dan Konsumsi Berlebihan Demi Masa Depan yang Berkelanjutan