Menjaga Kedaulatan Pangan di Tanah Papua
Foto: dok. Festival Pesta Ulat Sagu 2018Masyarakat adat Kombai di sedang memperjuangkan hak pengelolaan hutan adat untuk menjaga tumbuhan sumber pangan berharga mereka, yakni sagu. Sagu merupakan salah satu makanan pokok masyarakat di Tanah Papua. Tidak hanya itu, ada nilai filosofis budaya dan adat istiadat di dalamnya, seperti menanam, memelihara hingga menuai sagu.
Dalam rangka memperingati hari masyarakat adat internasional, masyarakat adat Kombai menyuarakan perjuangan mereka untuk memperoleh hak pengelolaan hutan adat dengan menyelenggarakan Festival Pesta Ulat Sagu yang disampaikan pada kegiatan Diskusi Lingkungan Rakyat (Lingkar) Papua yang diadakan di Jakarta, pekan lalu.
Hadir sebagai pembicara adalah Kristian Ari, Direktur Perkumpulan Silva Papua Lestari (PSPL), Yambumo Kwanimba, Kepala Festival Pesta Ulat Sagu Kombai yang merupakan perwakilan dari Suku Kombai, Yuli Prasetyo Nugroho, Kasubdit pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia pada Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
Masyarakat adat Kombai adalah salah satu masyarakat di tanah Papua yang memiliki kearifan lokal yang cukup terjaga, salah satunya adalah Pesta Ulat Sagu. Untuk melestarikan kearifan lokal tersebut maka masyarakat adat Kombai memandang perlunya diadakan Festival adat. Festival Pesta Ulat Sagu tersebut akan diadakan pada 26 September 2018 di Kampung Uni, Distrik Bomakia, Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Ada tiga elemen penting dalam festival ini, yaitu Masyarakat Adat, Hutan dan Sagu. Tetapi ketiganya tersebut saat ini terancam karena belum adanya pengakuan atas hutan adat. "Karena masih ada ritual adat di hutan, dan itu masih berhubungan erat dengan sumber daya hutan, misalnya sagu, kalau hutan terancam maka sagu terancam, jadi sumber penghidupan masyarakat itu adalah Hutan. Bayangkan kalau festival itu masih dilakukan, berarti butuh sagu dalam jumlah banyak, kalau ada konversi lahan, maka akan ada ancaman terhadap pangan dan budaya dari suku Kombai," kata Kristian Ari.
Hutan adat masyarakat Kombai saat ini sedang terancam dengan adanya ekspansi hutan di sekitarnya. Seperti dari Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusaha Hutan (HPH) serta konversi hutan menjadi sawit. Perusahaan PT. Digoel Daya Sakti dan PT. Damai Setia Tama sebagai perusahaan Hak Pengelolaan Hutan di masa Orde Baru telah beroperasi dari era1980an dan pada 1990an telah meninggalkan areal konsesi mereka di wilayah adat masyarakat Kombai. Saat ini masyarakat adat Kombai berjuang agar dapat memiliki hak pengelolaan hutan melalui skema Perhutanan Sosial (hutan adat).
Memastikan Adanya Pengakuan
Telah banyak tahapan dilewati seperti pemetaan wilayah adat, pengisian formulir permohonan dan pembuatan peraturan daerah (Perda). Sementara proses berjalan masyarakat juga mendapat tantangan karena Proses di Pemerintah Daerah sendiri masih terkendala penerbitan Perda pengakuan masyarakat adat dan hak ulayatnya.
Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yuli Prasetyo Nugroho, menyebut Festival Ulat Sagu yang akan dihelat oleh Suku Kombai dan Korowai adalah salah satu pilar penting dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat hukum adat di sana harus dilindungi. "Maka Pemerintah Provinsi dan Daerah penting untuk melakukan proses pengakuan ini. Intinya bahwa pengakuan itu merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten," terang dia.
Dirinya memastikan jika keniscayaan tersebut sebenarnya dijamin oleh Undang-undang yang sudah ada. Dalam diskusi tersebut dirinya menyebut mulai dari Undang-undang Dasar, Undang-undang Kehutanan, hingga Undangundang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. "Saya kira kita di Kementerian LHK dan kawan-kawan provinsi siap untuk bahu-membahu untuk pastikan pengakuan itu," tukas Prasetyo.
Sementara itu, Kepala Festival Pesta Ulat Sagu, Yambumo Kwanimba mengatakan bahwa sagu merupakan makanan sehari-hari suku Kombai dan Korowai, sehingga pelestarian hutan berarti juga melestarikan sagu. "Ada sisi pangan, ada sisi kekeluargaan juga, pesta ini akan memperlihatkan bagaimana kami sebagai satu kesatuan suku bekerjasama dalam saling menjaga kebutuhan makan antar suku. Mungkin ada satu keluarga yang bisa panen sedikit, itu akan ditutupi oleh mereka yang bisa panen banyak," ungkapnya.
Rencananya, Festival Pesta Ulat Sagu tersebut akan turut mempertunjukan tari-tarian adat dari masyarakat yang berasal dari 14 kampung yang hadir. Dalam festival ini juga akan diadakan pasar tradisional di mana masyarakat dapat bertransaksi dengan cara menukar barang (barter).
Selain masyarakat, Festival ini juga akan dihadiri oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Media, dan juga turis mancanegara. Semakin banyak elemen yang hadir, maka diharapkan semakin besar pula dukungan untuk masyarakat adat Kombai dalam melanjutkan perjuangannya mendapatkan hak hutan adat.
Rasa Syukur kepada Tuhan
Ulat sagu merupakan makanan khas Papua yang dikenal unik. Tapi kali ini kita tidak akan membahas tentang ulat sagu sebagai makanan tapi di Papua ada juga ritual yang dinamakan Pesta Ulat Sagu. Ritual tradisional yang menambah kekayaan budaya di Indonesia.
Pesta Ulat Sagu diadakan oleh suku Asmat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas hasil panen sagu. Ritual ini sudah dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang hingga saat ini. Mereka percaya ritual tersebut bisa menjamin kehidupan mereka di masa akan datang. Tradisi yang terdengar unik di telinga ini, tapi memiliki simbol yang mendalam, dan makna yang cukup berarti.
Pesta ulat sagu menjadi penting karena masyarakat Papua memang bergantung kepada pohon sagu sebagai makanan utama. Pohon sagu biasanya tidak ditanam melainkan tumbuh dengan sendirinya di rawa-rawa. Pohon sagu yang layak panen biasanya berumur sekitar sepuluh hingga lima belas tahun.
Ucapan syukur dalam bentuk ritual pesta ulat sagu tidak hanya dilaksanakan sesudah panen ulat sagu saja tetapi juga dilksanakan sebelum panen. Sebelum panen beberapa orang yang ditunjuk melihat pohon sagu yang sudah siap untuk dipanen. Pada ritual Pesta Ulat sagu dimeriahkan tarian dan nyanyian yang diringi alat musik khas Papua yakni Tifa.
Tari-tarian hanya dilaksanakan kaum wanita suku Asmat sedangkan kaum laki-laki sebagai pengiring musik saja, karena dalam tradisi mereka yang bertugas mencari sagu ialah wanita. Kaum laki-laki biasanya hanya berburu dan membuat ukiran.
Masyarakat yang ikut dalam tarian Pesta Ulat Sagu memakai pakaian adat khusus seperti bulu burung serta mengecat tubuh mereka dengan bahan khusus dari cangkang kerang. Tak jarang hampir seluruh tubuh tertutup oleh cat. Hal itu menjadi keabanggan tersendiri bagi masyarakat suku Asmat.
- Baca Juga: Debby Lufiasita Hadirkan Buku Puisi
- Baca Juga: Paris Hilton Buka Donasi untuk Korban Kebakaran LA
pur/R-1
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 J-Hope BTS Rilis Musik Baru Maret Tahun Ini
- 2 7 Manfaat Luar Biasa Terapi Biofeedback untuk Kesehatan
- 3 Dorong Industrialisasi di Wilayah Transmigrasi, Kementrans Jajaki Skema Kerja Sama Alternatif
- 4 Tak Sekadar Relaksasi, Ini 7 Manfaat Luar Biasa Terapi Spa untuk Kesehatan
- 5 Megawati Ajak Semua Pihak Pikirkan Masa Depan Indonesia, Tagline Cukup Indonesia Raya