Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 11 Feb 2019, 01:00 WIB

Meningkatkan Rasio Pajak

Foto: koran jakarta/ones

OLEH DR NUGROHO SBM, MSI

Masalah rasio pajak (tax ratio/TR) kembali menjadi perbincangan hangat, antara lain karena pernyataan salah satu kandidat presiden yang ingin meningkatkan TR hingga 16 persen. TR adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan pendapatan nasional (atau produk domestik bruto/PDB). Rasio ini merupakan ukuran realisasi penerimaan pajak dibanding potensinya dan ukuran kinerja administrasi perpajakan suatu negara. Makin besar TR tambah bagus. TR Indonesia 11,5 persen.

Pernyataan tersebut mengundang pro-kontra. Yang pro menyatakan memang sampai kini TR masih rendah dibanding negara-negara lain. Bahkan, di antara negara-negara anggota ASEAN lebih rendah dari Thailand (15,7), Kamboja 15,3, Singapura 14,3, Malaysia 13,8, dan Filipina sebesar 13,7.

Sedangkan di negara maju lebih tinggi lagi, seperti Denmark 49, Finlandia 43,6, Selandia Baru 34,5, Swedia 45,8, Australia 30,8, Norwegia 43,6, Kanada 32,2, Belanda 39,8, Jerman 40,6, Portugal 37, Belgia 46,8, Austria 43,4, Prancis 44,6, Inggris 39, dan Amerika Serikat 26,9.

Sementara itu, dalam 10 tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak selalu berada di bawah target, kecuali tahun 2008. Kebijakan meningkatkan TR memang sangat mendesak untuk menambah penerimaan negara karena pemerintah membutuhkan dana sangat besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang sedang giat dilakukan.

Yang kontra lebih banyak menyoroti angka TR sampai 16 persen. Angka tersebut dinilai sangat tinggi dan tidak mudah dicapai, antara lain karena administrasi perpajakan belum ideal. Kesadaran membayar pajak masih rendah. Kegiatan ekonomi belum bisa mendukung. Hanya, penerimaan pajak memang perlu ditingkatkan, otomatis TR.

Lebih dulu perlu dibahas ukuran atau metode perhitungan TR yang digunakan di Indonesia yang memiliki beberapa perbedaan mendasar dari beberapa negara. Yang dilihat hanya rasio pajak yang dikumpulkan pemerintah pusat terhadap PDB. Komponen pajak yang dihitung meliputi pendapatan perpajakan (PPh, PPN, PBB, dan beberapa pajak lain). Kemudian, kepabeanan dan cukai (cukai, bea masuk, pajak ekspor).

Sementara itu, di belahan dunia lain, perhitungan TR sudah turut menghimpun unsur pendapatan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan beberapa jenis pajak daerah. Bahkan di Eropa, kontribusi subsidi untuk masyarakat atau social security juga dihitung.

Hal tersebut sering membuat TR Indonesia terlihat begitu rendah dari beberapa negara maju atau ASEAN. Para ekonom hampir bersepakat bahwa metode perbandingan TR Indonesia dengan negara-negara lain dengan metode perhitungan sekarang bukan apple to apple, saat diadu dengan negara lain. Sudah saatnya, perhitungan TR dirombak. Misalnya, memasukkan unsur PNBP, pajak dan retribusi daerah, sebagai komponen tambahan.

Hambatan

Ada beberapa hambatan yang perlu diatasi agar penerimaan pajak dan TR naik di antaranya, administrasi perpajakan yang belum optimal. Masih sulit untuk mengidentifikasi jumlah wajib pajak (WP). Ini menyulitkan melihat potensi penerimaan pajak. Sampai kini jumlah WP perorangan 261,8 juta atau 14,9 persen dari jumlah penduduk.

Jumlah ini sangat kecil. Untuk mengatasi pemerintah sudah mewacanakan penggunaan nomer identifikasi tunggal (SIN) seperti diterapkan negara maju. SIN untuk berbagai keperluan seperti membuat KTP, SIM, NPWP, dan lain-lain. Dengan SIN, potensi perpajakan mudah dideteksi karena kekayaan seseorang akan diketahui.

Tidak bisa lagi seseorang menghindar dari kewajiban pajaknya. Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pernah merintis ini dengan mencoba membuat basis data kekayaan khususnya bumi dan bangunan WP. Malahan sudah ada survei dan pemberian SIN dengan mengambil digit angka di NPWP, KTP, SIM, dan STNK. Sayang, tidak ada kelanjutannya. Unuk itu, ide tentang SIN ini perlu direalisasikan agar data perpajakan lebih baik sehingga penerimaan dan TR meningkat.

Hambatan lain, pertumbuhan dan struktur ekonomi belum optimal untuk mendukung penerimaan yang sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi atau pro siklis. Pertumbuhan ekonomi memang berada di kisaran 5 persen sampai 5,5 persen dalam lima tahun terakhir yang tak terlalu optimal untuk mendukung penerimaan pajak tinggi.

Struktur perekonomian di mana industri manufaktur memegang peran penting akan mendukung penerimaan pajak. Sebab, 31 persen penerimaan pajak disumbang sektor manufaktur. Sepanjang 2014-2017 sektor manufaktur masih loyo. Terakhir hanya tumbuh 4,2 persen, di bawah pertumbuhan PDB sebesar 5,07 persen. Maka, penting menggenjot pertumbuhan manufaktur dengan berbagai insentif seperti kemudahan perizinan, pembangunan industri bahan baku, sehingga tidak perlu impor, dan pemberantasan pungutan liar.

Selanjutnya, pekerja di sektor formal masih rendah. BPS (2018) menunjukkan, hanya 43,16 persen tenaga sektor formal. Sisanya, bertahan di sektor informal yang dicirikan tidak punya izin usaha dan NPWP. Untuk menjadi usaha formal birokrasinya rumit dan mahal. Ini harus diberantas agar formalisasi usaha bisa berjalan baik dan mendukung penerimaan.

Kemudian, kenaikan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan pemotongan atau diskon PPh bagi UMKM. Kenaikan PTKP terakhir dilakukan medio 2016, sehingga TR anjlok menjadi 10,8 persen (2016) dan 10,7 persen (2017). Padahal tahun 2015 TR mencapai 11,9.

Memang ada niat positif kenaikan PTKP tersebut, yakni untuk menolong daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Namun, konsekuensinya sebagian potensi perpajakan hilang. Diskon (pengurangan) tarif PPh final bagi UMKM dari satu persen menjadi 0,5 yang berlaku per 1 Juli 2018. Ke depan, pemerintah perlu berhati-hati mengambil kebijakan menaikkan PTKP.

Di samping mengatasi berbagai hambatan tadi, pemerintah juga perlu segera merealisasikan pemungutan pajak bagi perdagangan berbasis digital atau e-commerce. Potensi ekonomi ini akan semakin membesar. Wajar pemerintah harus memanfaatkannya dengan menarik pajak. Hanya, pajak dikenakan pada perusahaan yang omzetnya sudah besar, jangan pemula atau start up.

Penulis Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip

Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.