Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Mengurangi Spiral Kekerasan

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Untungnya, banyak pihak kemudian menyesalkannya dan memprotesnya dengan serius. Namun, ada pula pihak yang membela dan mendukungnya dengan alasan menanamkan jiwa patriotisme sesuai semangat peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Memang layak disayangkan, jika munculnya simbol-simbol embrio kekerasan dalam dunia pendidikan tersebut malah menjadi kontroversial.

Sebab, siapa pun yang terlibat memunculkannya layak diingatkan bahwa embrio kekerasan seharusnya tidak disemai, khususnya dalam kehidupan anak-anak. Dalam rumus humanisme universal, embrio kekerasan harus dikikis habis dan jangan sampai muncul agar kehidupan damai menjadi kenyataan yang abadi.

Manusia yang suka kekerasan, menjadi musuh dan ancaman berbahaya bagi kemanusiaan. Kasus karnaval tersebut harus diakui berpotensi menjadi spiral kekerasan. Padahal, spiral kekerasan, jika telanjur berputar akan sulit dihentikan. Dia cenderung akan terus berputar dari waktu ke waktu berbahan bakar balas dendam.

Data empiris banyak membuktikan betapa balas dendam bisa turun temurun melintasi zaman. Misalnya, belas dendam dan kekerasan seputar tragedi G/30/S PKI tahun 1965-1966 yang sampai kini masih menyisakan trauma sejarah bagi bangsa. Semua yang terlibat kekerasan bisa saling mengaku paling benar meskipun nyata-nyata telah melakukannya. Jika sudah demikian, akal sehat hilang.

Tata nilai pun ruwet. Yang kuat akan makin semena-mena. Yang lebih parah, ketika akal sehat kacau, agama yang seharusnya menjadi formula mencegah atau menghentikan spiral kekerasan justru dipakai sebagai alat pembenaran tindak kekerasan. Pada titik ini, membunuh orang atau bunuh diri dianggap mulia dan akan mendapat hadiah surga.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top