Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 22 Des 2022, 06:40 WIB

Mengenal Toleransi Gaya Masyarakat Badui

Mayarakat Badui Dalam di Desa Kanekes, Kacamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, ­Banten terkenal akrab dengan alam. Mereka selalu menghor­mati dan menjaga kelestarian alam.

Foto: ANTARA/HO - Dok Dispar Banten

Masyarakat adat Badui Dalam maupun Luar di Desa Kanekes, Kacamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, sangat taat aturan adat yang diwariskan turun-temurun secara lisan serta sangat menjaga toleransi.

Pemerhati masyarakat adat Badui, M Iwan Subakti, di Serang, Rabu, mengatakan sikap toleransi Badui tumbuh dan berkembang dari nilai "environmental balance" (keseimbangan alam) turun-temurun.

Keseimbangan alam tidak hanya terkait hubungan manusia dengan alam, tetapi juga manusia dengan manusia. Di mata orang Badui, semua manusia sama. "Mereka tidak pernah membedakan manusia berdasarkan suku, agama, ras, dan lain-lain," kata Iwan. Menurutnya, masyarakat Badui sangat terbuka menerima siapa pun yang datang, tanpa pernah menanyakan latar belakang agama, dan lain-lain.

Salah satu contoh konkret toleransi masyarakat Badui adalah keberadaan Kampung Cicakal Girang, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Kampung Cicakal Girang berada di dalam kawasan Badui. Semua warga kampung tersebut beragama Islam dan ada masjid.

Umat Islam yang berada di kawasan Badui ini sudah lama hidup berdampingan dengan masyarakat adat Badui. Mereka saling menghargai. Tidak ada friksi sama sekali. Bahkan, warga Badui yang akan melangsungkan pernikahan secara sipil datang ke Kantor Urusan Agama di Kampung Cicakal Girang. Wisatawan yang berkunjung ke Badui dapat menjalankan kewajiban agama masing-masing tanpa pernah dilarang oleh orang Badui.

Jadi, soal toleransi, kita perlu banyak belajar dari masyarakat Badui. Dalam ajaran "pikukuh" adat mereka sangat menjunjung tinggi saling menghormati antarsesama manusia dan alam sekitar. "Pikukuh" Badui adalah sebuah larangan adat yang menjadi pedoman aktivitas masyarakat Badui berlandaskan ajaran Sunda Wiwitan. "Masyarakat Badui tidak boleh mengubah dan tidak boleh melanggar segala yang ada dalam kehidupan ini," katanya.

Segala aktivitas masyarakat Badui harus berlandaskan rukun kepercayaan Sunda Wiwitan (rukun Badui). Ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan yaitu ngukus (membakar kemenyan), ngawalu (ungkapan rasa syukur dengan berpuasa), muja ngalaksa (membawa padi ke lumbung), ngalanjak (berburu), ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka.

Ajaran tersebut ditaati melalui pemimpin adat yaitu Pu'un. Pu'un harus dihormati dan diikuti segala aturannya karena Pu'un adalah keturunan Batara. "Pikukuh" ini merupakan orientasi, konsep-konsep, dan aktivitas-aktivitas religi masyarakat Badui. Hingga kini, "pikukuh" Badui tidak berubah, sebagaimana yang termaktub di dalam "buyut" (pantangan, tabu) titipan nenek moyang.

"Buyut" adalah segala sesuatu yang melanggar "pikukuh". "Buyut" tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma dalam tindakan sehari-hari masyarakat Badui dalam berinteraksi dengan sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya. "Pikukuh" Badui mengatur juga mengenai kelembagaan di dalam masyarakat Badui yakni lembaga adat Badui dipimpin oleh tiga Pu'un.

Ketiga pimpinan tertinggi ini berasal dari tiga kampung keramat di Badui Dalam, yaitu Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana. Pu'un adalah orang suci keturunan karuhun (leluhur) yang berkewajiban menjaga kelestarian pancer bumi.

Redaktur: Aloysius Widiyatmaka

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.