Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Memprediksi Masa Depan Bumi dari Tempat Paling Ekstrem

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Setiap tahun, kelompok kecil peneliti memulai perjalanan berbahaya yang sama ke sudut terpencil di Bumi, yakni Dataran Tinggi Qinghai- Tibet (QTP) - yang juga dikenal sebagai Atap Dunia.

Dataran Tinggi Qinghai adalah dataran tertinggi di Bumi yang membentang antara Tibet, China, dan India. "Ada pemandangan luar biasa dan misterius yang tidak dapat Anda temukan di tempat lain," ungkap Ticao Zhang, profesor botani di Akademi Ilmu Pengetahuan China di Beijing.

Perjalanan dimulai dari Kathmandu, Nepal, atau Chengdu, China. "Selama musim hujan, mobil dan orang dapat jatuh dari tebing ke sungai, karena tanahnya sangat licin. Penyakit ketinggian adalah masalah lain yang membuat penjelajah yang tidak berpengalaman terkejut. Selama bertahun-tahun, saya menderita sakit kepala dan tidak bisa membawa tas karena saya sulit bernafas," kenangnya.

Tapi tetap saja, tahun demi tahun, para ilmuan melakukan perjalanan. Mereka melakukannya untuk mengumpulkan sampel dari tanaman dan mikroba unik. Dengan suhu tahunan rata-rata berkisar sekitar -4 derajat Celcius, tingkat oksigen rendah, tanah beku, dan radiasi UV yang kuat.

Perubahan iklim hanya memperkuat kondisi tidak ramah ini. Para peneliti seperti Zhang menduga bahwa lingkungan seperti ini dapat menunjukkan seperti apa dunia jika perubahan iklim merusak planet Bumi, sejalan dengan prediksi paling ekstrem para ahli.

Tapi pertama-tama, para ilmuan harus memahami bagaimana tanaman telah berevolusi sepanjang ribuan tahun untuk bertahan hidup di bawah kondisi yang keras seperti itu. "Memahami bagaimana organisme beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrem dapat membuat kontribusi yang signifikan terhadap ekologi evolusioner," kata Zhang.

Studi sebelumnya telah mengeksplorasi bagaimana manusia dan vertebrata juga berevolusi untuk beradaptasi dengan lingkungan dengan sedikit oksigen, sinar matahari yang kuat, atau suhu dingin.

"Lingkungan ekstrem adalah lingkungan yang kami pikir menjadi tuan rumah keanekaragaman tertinggi yang belum dijelajahi," kata Nikos Kyrpides, yang memimpin Program Biologi Genom di Institut Gabungan Genome Departemen Energi AS. Programnya mengundang para ilmuwan seluruh dunia untuk menyerahkan sampel genetik mereka - termasuk tanah, tanaman, dan mikroba - untuk pengurutan dan analisis.

Kyrpides menjelaskan bahwa tempat-tempat seperti permukaan samudera dan tanah planet telah dipelajari secara ekstensif, dan genom dari banyak makhluk yang ditemukan di sana telah diurutkan. "Tapi ada lingkungan terpencil, misalnya, lingkungan laut dalam, yang belum benar-benar dieksplorasi, dan kami telah melihat bahwa sebagian besar yang tidak diketahui berasal dari lingkungan khusus ini, jadi kami tahu masih banyak yang harus ditemukan sana," ujar Kyrpides.

Berevolusi untuk Bertahan Hidup

Melody Clark, ahli biologi molekuler di British Antarctic Survey, mengatakan dalam cuaca dingin yang ekstrem, misalnya, Anda bisa menemukan banyak hewan yang biasa hidup di nol derajat atau di bawah nol, dan mereka berpotensi memiliki beberapa fungsi yang bermanfaat bagi masyarakat.

"Hewan Antartika berevolusi dalam isolasi, dan bagi mereka yang hidup di bawah nol derajat Celcius sangat normal. Ada sejumlah strategi adaptasi, misalnya tentang ikan beku yang hidup tanpa hemoglobin di dalam tubuhnya," jelas Clark.

Para ilmuwan dapat menggunakan enzim yang diekstraksi dari extremophiles yang hidup di bawah nol derajat Celcius untuk menghasilkan deterjen yang bekerja pada suhu kamar, atau untuk mengolah makanan seperti keju dan anggur pada skala industri. "Beberapa mikroorganisme yang telah berevolusi untuk bertahan hidup di lingkungan yang sangat tercemar juga mendekontaminasi air yang tercemar, suatu proses disebut bioremediasi," terangnya.

Di Dataran Tinggi Tibet, para peneliti berusaha untuk lebih memahami spesies yang sudah ditemukan yang mungkin terbukti bermanfaat.

"Pekerjaan kami menunjukkan bahwa spesies yang berbeda telah berevolusi mekanisme yang berbeda untuk beradaptasi dengan lingkungan ekstrem dari Dataran Tinggi Qinghai-Tibet," kata James Crabbe, ahli biologi molekuler, anggota Supernumerary di Wolfson College, Universitas Oxford.

Sel berkomunikasi satu sama lain melalui serangkaian sinyal kimia yang mengontrol berbagai fungsi, seperti reproduksi dan bentuk sel-sel baru. Di Dataran Tinggi Tibet, tim peneliti menemukan bahwa tumbuhan dan bakteri yang mereka pelajari mengandung gen spesifik yang memberi sinyal pada sel untuk menghasilkan membran luar yang lebih kuat, membuat mereka lebih mampu menahan lingkungan yang keras dengan mengurangi kehilangan air. Gen-gen tumbuhan juga menyebabkan organisme menghasilkan tingkat asam amino yang lebih tinggi yang melindungi bagian-bagian utama sel dari sinar UV yang berbahaya.

Crabbe mengatakan bahwa mengidentifikasi gen yang membantu organisme bertahan hidup dalam kondisi dengan banyak karbondioksida atau sedikit air akan memungkinkan tanaman bertahan hidup di bawah perubahan iklim di masa depan di planet Bumi.

Tak Ada Waktu Beradaptasi

Penelitian terbaru di Nature Communications mencatat bahwa mencairnya es kutub tidak hanya memicu kenaikan permukaan laut, tetapi juga bisa menyebabkan kawasan lain seperti California menjadi lebih kering, meningkatkan risiko penggurunan dan kebakaran hutan.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan bahwa pada 2050, populasi dunia akan mencapai 10 miliar, dan kita akan membutuhkan sekitar 50 persen lebih banyak tanaman dari apa yang kita hasilkan hari ini.

"Dalam pengertian evolusi, kita tidak punya waktu untuk beradaptasi. Pemulia tanaman harus memikirkan varietas tanaman baru untuk lingkungan yang belum ada," ujar Nigel Halford, peneliti tanaman di Inggris.

Penemuan yang menjelaskan bagaimana tanaman bertahan hidup di lingkungan yang ekstrem seperti Dataran Tinggi Qinghai-Tibet, dengan adaptasi unik yang berevolusi selama jutaan tahun, pada akhirnya dapat memberikan wawasan tentang cara merekayasa tanaman yang dapat bertahan terhadap kondisi serupa.

Sementara itu, para peneliti dalam usaha mencari kehidupan aneh di Dataran Tinggi Qinghai-Tibet, masih ada jalan panjang sebelum apa yang mereka pelajari dapat diintegrasikan ke dalam tanaman. "Kami telah menunjukkan bahwa gen ini ditingkatkan pada tanaman yang selamat. Tapi pertanyaannya, apakah gen-gen itu benar-benar terlibat dalam adaptasi?" ujar Halford.

Untuk melakukannya, para ilmuwan menumbuhkan tanaman di bawah kondisi yang terkendali, untuk memahami bagaimana genetika dan protein unik dari tanaman yang dikumpulkan pada situasi ekstrem, tahan banting.

"Anda harus melihat bagaimana tanaman bertahan hidup, dan setelah itu Anda dapat berpikir tentang bagaimana membuat mereka lebih produktif dalam kondisi ekstrem," kata Crabbe.

AFP/pur/R-1

Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top