
Laudato Si’ di Indonesia: Menelusuri Akar Masalah Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya Bagi Para Pengungsi
Foto: PexelsPada hari Jumat, 14 Februari 2025 di Jakarta, PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) menyelenggarakan Forum PRAKSIS Seri ke-6 dengan tema “Laudato Si’ di Indonesia: Menelusuri Akar Masalah Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya Bagi Pengungsi.” Dalam forum ini, bertindak sebagai narasumber adalah Martinus Dam Febrianto, SJ. Dia adalah Direktur Nasional Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia, yang akrab disapa Romo Dam.
Di awal paparannya, Romo Dam mengingatkan bahwa pada tahun 2015 Paus Fransiskus menerbitkan dokumen kepausan (ensiklik) yang berjudul Laudato Si. Isinya adalah ajakan global untuk mencintai planet bumi dengan cara mencegah kerusakan lingkungan yang sekarang ini sudah berada pada taraf mengkhawatirkan. Melalui ensiklik tersebut Paus Fransiskus mengingatkan konsep “ekologi integral,” yaitu pendekatan holistik terhadap alam yang menyatukan pendekatan atas manusia, alam, dan pembangunan. Selanjutnya Paus mengajak seluruh umat manusia untuk merawat bumi sebagai “rumah kita bersama” (our common home).
Laju Deforestasi
Pada satu sisi, sejak diumumkannya Laudato Si’ telah melahirkan berbagai inisiatif global, nasional maupun lokal untuk mencegah kerusakan lingkungan. Pada sisi lain, hingga sekarang ini, yakni sepuluh tahun setelah diumumkannya, inisiatif-inisiatif itu belum mencukupi sehingga kerusakan lingkungan masih berlanjut dengan laju yang semakin meningkat. Kerusakan tersebut mencakup deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang selanjutnya mengakibatkan tidak hanya ketidakadilan sosial melainkan juga perubahan iklim. Sebagai akibat selanjutnya, muncul fenomena “pengungsi lingkungan,” di mana banyak warga masyarakat terpaksa meninggalkan tanah kelahiran atau tempat tinggalnya akibat bencana ekologis seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, atau degradasi lahan.
Berdasarkan data dariInternal Displacement Monitoring Centre (IDMC), Romo Dam menunjukkan bahwa sepanjang 2008 hingga 2023, Indonesia mencatat 2.149 kejadian bencana alam yang menyebabkan 8,1 juta orang mengungsi. Sebagai akibatnya orang tidak hanya kehilangan tempat tinggal, melainkan juga terancam mata pencahariannya. Sementara itu data dari Global Forest Watch (2024) menunjukkan laju deforestasi mencapai 650.000 hektar per tahun antara 2015 hingga 2020, dengan total kehilangan tutupan pohon sebanyak 30,8 juta hektar selama periode 2001 hingga 2023.
Tantangan Lingkungan di Indonesia
Demi mencegah semakin banyaknya pengungsi lingkungan dan kerusakan ekoligis sebagai penyebabnya, Romo Dam mengingatkan pentingnya penyatuan tindakan dari segenap unsur pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat sipil guna mencari jalan keluar bagi permasalahan lingkungan yang kian berkelindan dengan krisis kemanusiaan.
Lebih lanjut Martinus Dam Febrianto menyoroti tantangan lingkungan di Indonesia, seperti eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, polusi tanah dan udara, pembuangan limbah, dan inkonsistensi dalam penegakan hukum.
Ada tiga langkah konkret yang menurutnya bisa dilakukan untuk mewujudkan pesan Laudato Si’, yakni (1) meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang isu lingkungan; (2) melakukan advokasi berbasis temuan ilmiah guna mendorong kebijakan berkelanjutan; (3) memberikan dukungan komprehensif bagi pengungsi lingkungan, termasuk tempat tinggal, fasilitas kesehatan, dan peluang ekonomi. Dia mengatakan: “Kerusakan lingkungan di Indonesia adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi holistik dan kolaborasi erat antara masyarakat sipil, pemerintah, dan lembaga keagamaan.”
Pijakan Moral
Menanggapi seruan kolaborasi tersebut, salah seorang peserta forum, yakni Hening Parlan, seorang aktivis lingkungan yang juga adalah direktur GreenFaith Indonesia, mengatakan: “untuk membuat warga umat beragama bermartabat, kita harus kembali ke iman masing-masing untuk menyelamatkan bumi seraya terus menguatkan kolaborasi lintas agama.”
Atas pertanyaan apakah kebanyakan bencana alam itu natural-made (kejadian alam) atau man-made (akibat tindakan manusia), Romo Dam mengatakan bahwa saat ini penggolongan bencana secara demikian dipandang problematis.Sekarang ini, menurutnya, banyak tindakan manusia yang semakin besar perannya dalam memperparah intensitas dan memperpanjang durasi bencana alam. Dengan demikian faktor tindakan manusia tidak dapat dikesampingkan sebagai penyebab.Misalnya bencana naiknya permukaan air lain. Pada satu sisi naiknya permukaan air laut merupakan gejala alam, namun pada sisi lain ia adalah juga hasil dari ulah manusia secara global. “Banyak bencana alam terjadi bukan semata-mata karena alam itu sendiri, melainkan karena tindakan manusia,” pungkas Romo Dam.
Berita Trending
- 1 Kemenag: Kuota 1.838 Jemaah Haji Khusus Belum Terisi
- 2 Kabupaten Meranti mulai laksanakan Program Makan Bergizi Gratis
- 3 Klasemen Liga 1 Setelah Laga-laga Terakhir Putaran ke-23
- 4 Pram-Rano Akan Disambut dengan Nuansa Betawi oleh Pemprov DKI
- 5 Dirut BPJS: Syarat Kepesertaan JKN Bukan untuk Mempersulit Jemaah Haji