Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 28 Nov 2024, 13:30 WIB

Kotak Kosong Pilkada 2024: Bagaimana Dominasi Elite Menyetir Kompetisi Politik hingga ke Daerah

Petugas mengangkut kotak suara Pemilu 2024 ke atas truk untuk didistribusikan di Gedung Sport Hall Marimoi, Ternate, Maluku Utara, Minggu (11/2/2024).

Foto: Antara/Andri Saputra

Andhik Beni Saputra, Universitas Andalas

Perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) seharusnya menjadi wujud terjaminnya hak politik warga untuk terlibat aktif dalam tata kelola negara. Ini karena pemilu dapat membuka ruang kepada setiap individu untuk mengekspresikan dan memperjuangkan pandangan politiknya.

Namun, saat ini pemilu sebagai fondasi utama demokrasi di Indonesia justru menunjukkan penyempitan ruang kompetisi. Ini terlihat dari banyaknya calon tunggal dalam kompetisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) per September 2024, ada 37 daerah yang menghadirkan pasangan calon tunggal. Dengan makin banyaknya calon tunggal yang melawan kotak kosong, kompetisi politik semakin kabur karena masyarakat tidak disuguhkan pilihan lain. Ini menjadi ironi bagi demokrasi. Tren ini tentunya tidak hanya mempersempit kebebasan politik individu tetapi juga menggerus kedaulatan rakyat, kesetaraan, dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal, Indonesia punya banyak partai politik yang masing-masing telah memiliki mekanisme kaderisasi untuk mencetak pemimpin. Namun banyak kandidat potensial gagal mengikuti kontestasi karena tidak dikehendaki elite atau petinggi partai politik yang memiliki kuasa merekomendasikan pencalonan. Lagi-lagi, negara ini tampak dikendalikan segelintir elite.

Dominasi elite dalam parpol

Demokrasi Indonesia tampak sedang berjalan secara prosedural, namun tidak sesuai dengan esensinya, tidak berkeadilan dan tidak akuntabel akibat politisasi hukum yang hanya menguntungkan segelintir pihak, yakni elite.

Saat ini, elite memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah politik Indonesia. Contoh praktiknya adalah dalam kompetisi politik lokal, pimpinan pusat partai politik berperan besar dalam penunjukan kandidat, sementara banyak dari para ketua umum partai yang tidak begitu memahami dinamika dan kebutuhan di daerah.

Menghadirkan calon tunggal bisa menjadi cara elite “mengatur” arah kompetisi di pilkada. Bagi mereka, kemenangan dalam Pilkada akan lebih mudah diraih jika persaingan kandidat makin terbatas.

Memang, dengan makin sedikitnya pasangan calon, biaya pemilu menjadi lebih murah. Ini karena pragmatisme pemilih yang meminta insentif materi dari kandidat bisa berkurang signifikan. Dampak negatif pemilu seperti polarisasi pemilih akibat mobilisasi identitas juga bisa terhindarkan. Pilkada akhirnya bisa berlangsung damai dan kohesi sosial di tingkat lokal tetap terjaga.  

Sayangnya, pemilih jadi tidak memiliki banyak alternatif kandidat sebagai representasi aspirasi mereka, dan kondisi demikian akan membuat Pilkada menjadi tidak kompetitif. Namun sepertinya hal itulah yang diinginkan elite. Perilaku pemilih sangat dinamis dan sulit diprediksi, sehingga jika elite menghadirkan makin banyak calon, ini dapat merusak kalkulasi politik mereka dalam upaya meraih kekuasaan.

Intinya, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong ini sebenarnya terjadi karena ambisi elite memenangkan kontestasi dengan beragam cara. Lalu, setelah mendapatkan kekuasaan puncak, mereka berkonsolidasi kembali dalam bentuk pembagian kekuasaan (power sharing), membagi-bagi jabatan bagi siapa saja yang bergabung. Pada akhirnya, pemilu hanya menjadi mekanisme prosedural dan seremonial untuk mencari legitimasi kekuasaan.

Bagaimana elite bisa dominan

Partai-partai di Indonesia umumnya tidak begitu mengakar di akar rumput. Terdapat jarak lebar antara massa dan partai. Seringkali, rekrutmen anggota partai hanya untuk memenuhi persyaratan mengikuti pemilu. Konsekuensinya, rakyat cenderung merasa partai tidak mewakili kepentingannya. Padahal kuatnya koneksi emosional antara partai dan massa menjadi syarat penting bagi keberlangsungan demokrasi.

Ini terjadi akibat dominannya peran elite dalam tata kelola organisasi internalnya. Arah dan kebijakan politik partai pun sangat dipengaruhi oleh preferensi personal elite pimpinan partai. Biasanya hal ini terjadi karena mereka merupakan pendiri maupun penyandang utama dana operasional partai.

Pendanaan partai inilah yang menjadi salah satu penyebab tidak berfungsinya kelembagaan partai secara optimal. Ini membuat kandidat harus menanggung biaya pemilihan mereka secara mandiri. Partai kemudian mencari alternatif pendanaan dari individu-individu dengan sumber ekonomi relatif tak terbatas (oligarki), lalu menjadi bergantung kepada bantuan finansial dari oligarki untuk kegiatan partai, khususnya kampanye pemenangan pemilu.

Partai akhirnya tidak menjalankan fungsi edukasi, agregasi, maupun artikulasi kepentingan publik, melainkan lebih memilih bergabung ke kekuasaan.

Melalui posisi strategis di pemerintahan, partai mendistribusikan sumber-sumber kekayaan negara melalui program kementerian/lembaga ke jaringan sosial-politiknya. Kondisi ini semakin melembagakan patronase (dukungan atau sponsor) dan klientelisme (hubungan patron-klien) yang melegitimasi praktik-praktik politik transaksional.

Kondisi ini berkontribusi pada rendahnya transparansi dan maraknya korupsi pada tata kelola pemerintahan. Akibatnya, eksistensi demokrasi yang mensyaratkan akuntabilitas publik tidak lagi menjadi kebutuhan bersama.

Partai politik butuh ‘pertolongan’

Suka atau tidak, desain demokrasi kita menempatkan partai pada posisi krusial. Partai berwenang mengajukan calon pejabat publik untuk mengelola negara beserta segala sumber dayanya. Demokrasi tidak hanya soal perluasan partisipasi tetapi juga penguatan institusi. Agar demokrasi Indonesia berfungsi dengan baik, penting untuk mendorong pelembagaan partai secara demokratis.

Peningkatan pendanaan publik untuk partai bisa menjadi langkah awal. Kontrol publik atas partai sangat penting bagi masa depan demokrasi kita.

Peningkatan pendanaan akan mendorong tuntutan publik terhadap kinerja partai yang lebih baik dalam menjembatani kepentingan warga negara dan pemerintah. Publik juga semakin memiliki alasan konkret untuk mendesak tata kelola partai yang lebih demokratis dan profesional. Dengan demikian, partai bukan lagi sekadar simbol kekuasaan personal, tetapi menjadi organisasi yang dimiliki bersama untuk memajukan kesejahteraan.

Wacana ini tentu saja merupakan proses panjang yang membutuhkan kesepakatan bersama. Partai perlu meyakinkan masyarakat sipil bahwa mereka bisa dan siap mengelola pendanaan publik secara transparan dan bertanggung jawab.

Jerman dan Turki bisa menjadi rujukan perbandingan bagaimana negara memberikan bantuan pendanaan pada partai. Hal ini tak lepas dari pandangan bahwa partai merupakan institusi melekat di demokrasi modern yang turut menghadirkan barang-barang publik (publik goods) kepada masyarakat. Negara kemudian mengalokasikan dana bantuan ke partai. Pada saat yang sama, negara juga menuntut transparansi dan akuntabilitas melalui lembaga negara yang bertanggung jawab melakukan pengawasan atas pemanfaatan dana publik tersebut.

Elite juga perlu merelakan berkurangnya kendali mereka atas partai. Persetujuan publik tentunya menjadi kunci mendorong tata kelola partai yang lebih baik. Kemarahan publik atas revisi UU Pilkada dan berbagai isu krusial lainnya merupakan tanda bahwa publik semakin peduli sekaligus khawatir terhadap masa depan demokrasi Indonesia.

Saat ini, oligarki partai menganggap partai adalah milik mereka. Namun, mereka harus ingat bahwa mereka membutuhkan dukungan publik sebagai sumber utama legitimasi meraih kekuasaan pemerintahan.The Conversation

Andhik Beni Saputra, Lecturer, Universitas Andalas

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.