Kota Pencakar Langit Kuno di Yaman yang di Ambang Kepunahan
Panorama Kota Tua l Sejumlah warga Yaman duduk dan asyik berbincang di tepi jembatan di Kota Tua Sana’a yang dikelilingi panorama bangunan menara yang dilindungi oleh UNESCO beberapa waktu lalu.
Foto: AFP/Mohammed HUWAISMelangkah melintasi Bab-al-Yaman, gerbang besar yang memungkinkan akses ke Kota Tua Sana'a, layaknya melangkah melalui portal yang menghubungkan kita dengan masa lalu. Bangunan tinggi dan ramping berdesakan di jalan sempit yang menghubungkan kebun buah dan sayur yang rimbun dengan souq (pasar) kuno tempat keledai dijual hingga kini.
Terlihat pula tukang kunci sedang sibuk memperbaiki kunci logam besar untuk membuka pintu kayu yang amat mengesankan, penjual sedang menjajakan pir dari gerobak, dan tukang roti lokal sedang mengeluarkan roti dari oven tradisional yang dibuat di tanah. Di sebuah ruangan kecil, terlihat pula seekor unta berjalan memutar dengan susah payah menggerakkan batu giling menghancurkan biji wijen.
Namun terlepas dari semua rangsangan visual, keindahan arsitekturlah yang mendominasi pemandangan di kota tua ini. Sana'a dipenuhi dengan bangunan menjulang yang tidak seperti tempat lain di dunia.
Ketika kita mendongakkan kepala ke atas, terlihat ada bangunan-bangunan ramping ini, beberapa dengan hanya satu atau dua kamar di lantai, menjulang tinggi ke langit. Pada lantai bawah bangunan dibuat tidak berjendela karena digunakan sebagai kandang hewan atau ruang kerja. Setingkat ke atas terdapat jendela berornamen yang lebih tinggi ditutupi oleh kaca patri atau oleh mashrabiya (jendela berkisi untuk mengintip) yang melindungi privasi perempuan di dalamnya.
Dari gang, hampir tidak mungkin mengukur ketinggian sebenarnya dari bangunan-bangunan ini. Tetapi ketika kita mencapai souq, terlihat bahwa beberapa bangunan itu tingginya hingga tujuh lantai. Dari ketinggian sebuah bangunan, panorama di sekitar Kota Tua Sana'a bagaikan dikelilingi oleh gedung menara kuno.
Konstruksi bangunan tinggi ini berusia antara 300 dan 500 tahun dan dibangun dari lumpur. Konstruksi bangunan menara yang serupa tersebar di Yaman, mulai dari yang ada di desa-desa kecil hingga kota-kota besar, seperti Shibam yang terkenal, yang pada era '30-an dijuluki sebagai "The Manhattan of the Desert" oleh penjelajah Anglo-Italia bernama Dame Freya Madeline Stark.
"Gaya arsitektur pencakar langit Yaman begitu unik sehingga Kota Zabid, Shibam, dan Kota Tua Sana'a telah diakui sebagai situs Warisan Dunia Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO)," kata Trevor Marchand, profesor antropologi sosial di London's School of Oriental and African Studies (SOAS) dan penulis buku berjudul Architectural Heritage of Yemen - Buildings That Fill My Eye.
Apa yang membuat gedung menara di Yaman begitu unik adalah karena hingga kini masih digunakan, sama seperti ratusan tahun yang lalu. Di Kota Tua Sana'a, misalnya, sementara beberapa telah diubah menjadi hotel dan kafe, sebagian besar masih digunakan sebagai tempat tinggal pribadi.
Menurut Salma Samar Damluji, arsitek dan penulis buku The Architecture of Yaman and its Reconstruction mengatakan bahwa konstruksi gedung menara sengaja dibangun menjulang karena keterbatasan lahan sehingga bangunan harus dibuat secara vertikal.
"Kota-kota kuno di Yaman dikelilingi tembok pelindung untuk memisahkan pemukiman dengan padang pasir. Setiap ruang yang layak untuk pertanian dianggap terlalu berharga untuk dijadikan bangunan, sehingga warga membangun gedung ke atas dalam kelompok yang rapat," ucap Damluji.
Upaya Pelestarian
Keunikan lainnya dari gedung-gedung menara di Yaman ini adalah semuanya dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami yaitu lumpur yang sangat berkelanjutan dan sangat cocok untuk iklim gurun Arab yang panas dan kering.
Namun, menurut Damluji, keterampilan membangun gedung menara saat ini berada di ambang kepunahan. "Kami sedang mencari struktur yang dapat bertahan hingga 300 tahun atau lebih. Bangunan enam dan tujuh lantai dibangun dari bata lumpur yang dikeringkan dengan cara yang tidak dapat dibangun oleh arsitek kontemporer saat ini," ungkap dia.
Untuk mencegah pengetahuan ini hilang, Damluji bekerja sama dengan Yayasan Arsitektur Dawan, yang berusaha untuk melestarikan metode pembangunan ini, mendorong penggunaan bahan dan metode tradisional.
Tahun lalu, UNESCO mensurvei ada sekitar 8.000 keajaiban arsitektur ini dan saat ini sedang berupaya untuk memulihkan 78 gedung menara yang berada di ambang kehancuran. UNESCO sendiri berupaya melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan bangunan sebanyak mungkin, tetapi sulit dalam situasi konflik saat ini. BBC/I-1
Berita Trending
- 1 Daftar Nama Jemaah Haji Khusus Akan Transparan
- 2 Perlu Dihemat, Anggaran Makan ASN Terlalu Besar Rp700 Miliar
- 3 Kota-kota di Asia Tenggara Termasuk yang Paling Tercemar di Dunia
- 4 Pertamina Tegaskan Komitmen Terhadap Transisi Energi Berkelanjutan di Forum Ekonomi Dunia 2025
- 5 Mantan Host Fox News Pete Hegseth Terpilih Jadi Menteri Pertahanan AS
Berita Terkini
- Dorong Inklusi Keuangan, Bank DKI Raih Indonesia Public Relations Award 2025
- Buka Tahun Bersama Wartawan Katolik. Perlu Kolaborasi Bangun Ketahanan Pangan
- Perjalanan Satu Tahun Indonesia Asri
- Jannik Sinner Taklukkan Zverev untuk Pertahankan Gelar Australian Open
- Wamenekraf Dukung Gim Lokal untuk Mendunia