Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 03 Feb 2025, 01:05 WIB

Komitmen Pejabat Publik Lemah, 66,55% Belum Sampaikan LHKPN

Anggota Tim jubir KPK, Budi Prasetyo.

Foto: istimewa

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan kepatuhan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Tahun Pelaporan 2024 hanya mencapai 33,45 persen. Data per 31 Januari 2025 menunjukkan penyampaian LHKPN Tahun Pelaporan 2024 hanya 145.320 wajib lapor dari seharusnya total 418.665 wajib lapor. 

Hal itu berarti masih ada 273.345 atau 66,55 persen pejabat publik yang merupakan wajib lapor belum menyampaikan LHKPN-nya ke KPK.

Anggota Tim Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi di Jakarta, pekan lalu seperti dikutip dari Antara mengatakan angka tersebut sudah termasuk para wajib lapor baru yang sudah menyampaikan LHKPN khusus pada jabatan barunya, seperti wajib lapor pada Kabinet Merah Putih, kepala daerah, dan anggota legislatif terpilih.

Dari pejabat eksekutif dengan jumkah wajib lapor 334.437, baru 111.880 atau 33,45 persen yang sudah melaporkan harta kekayaannya. Sedangkan, dari legislatif, dari total wajib lapor 20.223, sebanyak 8.121 atau 40,16 persen sudah melaporkan LHKPN. Dari Yudikatif, terdapat 18.070 wajib lapor, dengan 15.552 atau 86,07 persen diantaranya sudah melapor. Terendah, pejabat BUMN/BUMD dari total 45.935 wajib lapor, hanya 9.767 atau 21,26 persen yang sudah melaporkan LHKPN.

Menanggapi laporan tersebut, Peneliti Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID), Nazar el Mahfudzi, menilai bahwa fenomena itu mengindikasikan lemahnya komitmen pejabat publik dalam menjunjung prinsip transparansi dan akuntabilitas.

“LHKPN bukan sekadar administrasi tahunan, tetapi tolok ukur integritas pejabat negara. Jika kepatuhan masih serendah ini, wajar jika publik mempertanyakan komitmen mereka dalam memberantas korupsi,” kata Nazar.

Sanksi Lemah

Nazar mengatakan bahwa ketidakpatuhan pelaporan LHKPN juga disebabkan oleh lemahnya sanksi terhadap pejabat yang tidak melaporkan kekayaannya tepat waktu. Selama ini, konsekuensi bagi para pejabat yang abai dalam pelaporan masih sebatas teguran administratif tanpa efek jera yang signifikan.

“Sanksi yang ada saat ini tidak cukup membuat pejabat merasa wajib melaporkan hartanya. Jika mereka tidak takut konsekuensi, maka kepatuhan akan tetap rendah. KPK dan instansi terkait perlu mempertimbangkan sanksi yang lebih tegas, seperti pembekuan fasilitas negara atau penundaan kenaikan jabatan bagi yang tidak patuh,” jelasnya.

Selain faktor regulasi, Nazar juga menyoroti kurangnya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi harta pejabat publik. Menurutnya, rendahnya partisipasi masyarakat dalam memantau LHKPN membuat banyak pejabat merasa tidak ada tekanan moral untuk melaporkan kekayaannya secara terbuka.

Sementara itu, pengamat Komunikasi Politik Universitas Bina Nusantara (Binus) Malang, Frederik M Gasa mengatakan, masih rendahnya kepatuhan pejabat publik itu menandakan mereka belum transparan, padahal pelaporan sangat lumrah mereka lakukan terutama karena sebagian dari harta bendanya berasal dari masyarakat.

“Manakala penyelenggara negara rutin dan tertib melaporkan harta kekayaannya, maka mereka sudah melaksanakan tanggung jawabnya untuk transparan dan akuntabel,” kata Frederik.

Peneliti Mubyarto Institute Awan Santosa mengimbau agar pejabat negara memberi teladan yang baik bagi masyarakat luas. “Pejabat negara mestinya memberi contoh budaya dan tradisi yang baik dengan menyampaikan LHKPN secara disiplin dan berkala,” kata Awan.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.